Ads

Ketika Luka Dijadikan Konten: Bencana, Selfie, dan Budaya Lepas Tangan Kekuasaan

 

Ketika Luka Dijadikan Konten: Bencana, Selfie, dan Budaya Lepas Tangan Kekuasaan

Ditulis oleh: M Nurudin


Bencana alam selalu datang tanpa permisi. Ia merenggut rumah, mata pencaharian, rasa aman, bahkan nyawa manusia dalam waktu singkat. Seharusnya, setiap bencana menjadi ruang duka, empati, dan solidaritas. Namun dalam beberapa tahun terakhir, ada fenomena yang semakin mengganggu nurani publik: lokasi bencana justru berubah menjadi tempat wisata dadakan, penuh kamera ponsel, pose selfie, dan konten media sosial yang mengejar perhatian.

Orang-orang datang ke lokasi bencana bukan untuk membantu, bukan untuk memberi dukungan, tetapi sekadar untuk membuktikan bahwa mereka “pernah ke sana”. Foto berlatar reruntuhan rumah, banjir setinggi dada, atau tanah longsor dijadikan bukti kehadiran, lalu diunggah dengan caption dramatis. Ironisnya, semua itu sering dilakukan tanpa empati terhadap korban yang sedang kehilangan segalanya. Bagi sebagian orang, penderitaan orang lain berubah menjadi latar estetika.

Fenomena ini sangat memprihatinkan karena menunjukkan pergeseran nilai. Duka tidak lagi dipandang sebagai ruang hening yang harus dihormati, tetapi sebagai peluang konten. Kesedihan orang lain direduksi menjadi latar belakang visual. Padahal, bagi korban, setiap puing adalah kenangan, setiap genangan air adalah trauma, dan setiap retakan tanah adalah rasa takut yang belum tentu hilang bertahun-tahun kemudian.

Selfie di lokasi bencana bukan sekadar soal etika personal, tetapi cermin dari budaya yang lebih besar: budaya pamer, budaya validasi, dan budaya kehilangan empati. Dalam budaya ini, yang penting bukan apa yang dirasakan korban, tetapi bagaimana diri sendiri terlihat di mata publik. Likes, views, dan komentar menjadi lebih penting daripada rasa kemanusiaan.

Yang lebih menyakitkan, fenomena ini tidak berdiri sendiri. Ia berjalan seiring dengan sikap elite dan pejabat yang juga memperlakukan bencana sebagai ajang pencitraan dan arena saling tuding. Ketika bencana terjadi, kamera media segera diarahkan ke para pejabat. Pernyataan demi pernyataan dilontarkan, bukan untuk menjelaskan solusi, tetapi untuk menghindari tanggung jawab.

Menteri satu menyebut bencana sebagai urusan kementerian lain. Menteri lain menunjuk pemerintah daerah. Pemerintah daerah menyebut faktor alam dan kebijakan pusat. Akhirnya, yang tersisa hanyalah lingkaran saling lempar tanggung jawab, sementara korban tetap menunggu bantuan yang nyata. Dalam situasi genting, yang dibutuhkan adalah koordinasi, bukan kompetisi narasi.

Fenomena saling tuding ini memperlihatkan bahwa bencana sering diperlakukan sebagai beban politik, bukan sebagai tragedi kemanusiaan. Yang dipikirkan pertama kali bukan bagaimana menolong korban, tetapi bagaimana menjaga citra dan posisi. Pernyataan publik dirancang lebih untuk menghindari kesalahan daripada menyelesaikan masalah.

Di sinilah letak kemiripan yang menyedihkan antara masyarakat dan penguasa. Masyarakat sibuk mengambil selfie untuk eksistensi pribadi, sementara pejabat sibuk membuat pernyataan untuk eksistensi kekuasaan. Keduanya sama-sama memanfaatkan bencana, hanya dalam bentuk yang berbeda. Korban kembali menjadi pihak yang paling sunyi.

Bencana alam memang tidak selalu bisa dicegah, tetapi dampaknya bisa diminimalkan. Sayangnya, pembahasan tentang mitigasi, tata ruang, kerusakan lingkungan, dan kelalaian kebijakan sering tenggelam oleh hiruk-pikuk saling menyalahkan. Setelah kamera mati, janji menguap, dan berita berganti topik, korban kembali berjuang sendiri menghadapi puing-puing kehidupan.

Budaya selfie di lokasi bencana juga memperlihatkan kegagalan literasi empati. Banyak orang tidak mampu membedakan antara dokumentasi dan eksploitasi. Mendokumentasikan bencana untuk edukasi dan advokasi berbeda jauh dengan menjadikannya latar narsisme. Ketika wajah tersenyum muncul di depan kehancuran, ada yang salah dengan cara kita memahami penderitaan.

Masalahnya bukan pada teknologi, tetapi pada nilai yang menyertainya. Media sosial seharusnya bisa menjadi alat solidaritas: menggalang bantuan, menyebarkan informasi darurat, dan memperkuat jaringan pertolongan. Namun tanpa kesadaran etis, ia justru berubah menjadi panggung ketidakpekaan massal.

Pemerintah pun tidak bisa sekadar menyalahkan masyarakat. Keteladanan dari atas sangat menentukan. Ketika pejabat datang ke lokasi bencana hanya untuk sesi foto, memakai rompi bantuan, lalu pergi tanpa tindak lanjut yang jelas, pesan yang sampai ke publik adalah: bencana adalah panggung. Jika elite memperlakukan tragedi sebagai citra, masyarakat akan menirunya dalam versi yang lebih vulgar.

Karena itu, perubahan cara menghadapi bencana harus dimulai dari dua arah sekaligus: masyarakat dan pemerintah. Masyarakat perlu membangun kesadaran bahwa tidak semua momen layak dijadikan konten. Ada ruang duka yang harus dihormati. Ada penderitaan yang tidak perlu diekspos. Membantu tidak selalu harus terlihat.

Pemerintah, di sisi lain, harus berhenti menjadikan bencana sebagai ajang pembelaan diri. Tanggung jawab tidak bisa dipecah-pecah untuk menghindari kritik. Koordinasi lintas lembaga harus menjadi prioritas utama, bukan saling lempar pernyataan. Transparansi, kecepatan, dan kejelasan tindakan jauh lebih penting daripada retorika.

Empati bukan hanya soal perasaan, tetapi soal kebijakan. Relokasi yang layak, bantuan yang tepat sasaran, rehabilitasi lingkungan, dan evaluasi kebijakan tata ruang adalah bentuk empati struktural. Tanpa itu, semua ucapan belasungkawa hanya akan terdengar kosong.

Kita juga perlu membangun kesadaran kolektif bahwa bencana bukan sekadar peristiwa sesaat. Ia meninggalkan luka panjang. Trauma psikologis, kehilangan mata pencaharian, dan kerusakan sosial tidak bisa pulih hanya dengan bantuan darurat. Dibutuhkan pendampingan jangka panjang, yang sering kali luput dari perhatian karena tidak menarik secara visual.

Jika bencana terus diperlakukan sebagai tontonan dan arena politik, maka yang rusak bukan hanya wilayah yang terdampak, tetapi juga nilai kemanusiaan kita. Kita akan terbiasa melihat penderitaan tanpa merasa perlu bertindak. Kita akan terbiasa menyalahkan tanpa merasa perlu bertanggung jawab.

Pada akhirnya, cara kita memperlakukan korban bencana adalah cermin siapa kita sebagai masyarakat dan sebagai negara. Apakah kita bangsa yang hadir untuk sesama, atau sekadar penonton yang sibuk dengan kamera dan pernyataan? Apakah kekuasaan digunakan untuk melindungi, atau hanya untuk menghindar?

Bencana tidak pernah meminta dijadikan wisata. Korban tidak pernah meminta dijadikan konten. Yang mereka butuhkan adalah empati, tanggung jawab, dan tindakan nyata. Jika kita gagal memahami itu, maka bencana terbesar sesungguhnya bukanlah gempa, banjir, atau longsor—melainkan hilangnya rasa kemanusiaan dalam diri kita sendiri.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel