Negeri yang Tetap Kita Pulang: Antara Kritik, Doa, dan Rasa Memiliki
Negeri yang Tetap Kita Pulang: Antara Kritik, Doa, dan Rasa Memiliki
Ditulis oleh: Akang Marta
Namun, di balik semua keanehan itu, Indonesia tetap berjalan. Tidak berhenti hanya karena ribut di media sosial. Tidak runtuh hanya karena kritik keras di warung kopi atau panggung komedi. Negara ini bergerak dengan caranya sendiri—kadang tersendat, kadang belok, kadang tampak bingung—tetapi tetap melangkah. Pemerintah berjalan. Kota-kota tumbuh. Desa-desa berdenyut dengan ritme yang mungkin tidak selalu terlihat dari pusat, tapi nyata bagi mereka yang hidup di dalamnya.
Pemimpin bekerja dengan segala keterbatasannya. Ada yang cakap, ada yang biasa saja, ada pula yang mengecewakan. Tidak sempurna, tidak selalu benar, tapi nyata. Mereka manusia, bukan tokoh dalam buku pelajaran kewarganegaraan. Mereka bisa salah, bisa lelah, bisa keliru membaca situasi. Namun negara tidak bisa menunggu manusia sempurna untuk bergerak. Kalau harus menunggu itu, Indonesia mungkin tidak akan pernah jalan.
Di sinilah kita sering terjebak. Kita ingin pemimpin tanpa cela, kebijakan tanpa dampak samping, keputusan tanpa risiko. Padahal hidup tidak bekerja seperti itu. Bangsa pun tidak dibangun dari tangan-tangan malaikat, melainkan dari manusia dengan ego, kepentingan, dan ketakutan. Yang membedakan hanyalah apakah mereka masih mau belajar dan dikoreksi, atau memilih merasa paling benar.
Kitab Daniel pernah mengingatkan satu hal penting yang sering luput dari perbincangan publik: Tuhan bisa memakai siapa saja, sekecil apa pun. Bahkan orang yang kita anggap tidak layak, tidak cakap, atau tidak penting. Dalam sejarah iman maupun sejarah bangsa, perubahan besar sering datang bukan dari tokoh yang dielu-elukan, tapi dari figur yang diremehkan.
Ini bukan ajakan untuk menutup mata terhadap kesalahan. Ini pengingat agar kita tidak sombong dalam menghakimi. Karena boleh jadi, alat yang Tuhan pakai untuk bekerja bukan yang kita pilih, tapi yang kita abaikan.
Di sinilah posisi kita sebagai warga negara diuji. Tugas kita bukan hanya mengkritik, tapi juga mendoakan. Bukan hanya bersuara, tapi juga menjaga kewarasan bersama. Kritik tanpa doa melahirkan kelelahan. Doa tanpa kritik melahirkan kepasrahan buta. Indonesia membutuhkan keduanya agar tetap seimbang.
Bangga menjadi orang Indonesia bukan berarti menutup mata. Justru sebaliknya. Bangga berarti berani melihat kekurangan tanpa membenci diri sendiri. Berani mengakui masalah tanpa merasa rendah diri. Berani berkata, “Ini belum benar,” tanpa harus berkata, “Negeri ini gagal total.”
Kita sering lupa bahwa mencintai negara tidak sama dengan menganggapnya sempurna. Cinta yang dewasa justru berani jujur. Ia tidak memoles semua keburukan, tapi juga tidak menjadikan keburukan sebagai alasan untuk meninggalkan.
Kita menertawakan negeri ini bukan karena benci, tapi karena terlalu akrab. Humor lahir dari kedekatan. Kita hanya bisa menertawakan sesuatu yang kita kenal. Tidak ada bangsa yang lebih sering menjadikan dirinya sendiri bahan lelucon selain Indonesia. Dari kebiasaan kecil, birokrasi berbelit, sampai hal-hal absurd yang hanya bisa terjadi di sini—semuanya jadi bahan cerita.
Dan anehnya, justru di situlah letak daya tahannya. Kita tidak meledak oleh kemarahan, tapi menguap lewat tawa. Kita tidak selalu melawan dengan amuk, tapi dengan sindiran. Ini bukan kelemahan. Ini mekanisme bertahan hidup.
Indonesia bukan negara paling rapi. Kita tahu itu. Administrasi kadang ribet. Aturan kadang tumpang tindih. Jalan berlubang bisa berdampingan dengan baliho raksasa bertuliskan “menuju kota dunia”. Tapi di balik semua ketidakteraturan itu, ada manusia-manusia yang saling membantu, saling menunggu, dan saling mengerti dalam diam.
Indonesia bukan negara paling tertib. Kita sering melanggar antrean, menerobos lampu merah, atau mencari jalan pintas. Tapi kita juga negara yang cepat menolong saat bencana, spontan urunan saat ada musibah, dan ramai-ramai turun tangan ketika ada yang kesusahan. Tertib secara aturan mungkin belum maksimal, tapi tertib secara rasa masih hidup.
Indonesia bukan negara paling sempurna. Tapi ia punya jiwa. Jiwa itu terasa di pasar tradisional yang ribut tapi hangat. Di warung kopi yang jadi ruang diskusi politik kelas rakyat. Di masjid, gereja, pura, dan vihara yang berdiri berdampingan, meski kadang diuji oleh gesekan. Jiwa itu ada di cara kita menyapa orang asing dengan “Pak” dan “Bu”, seolah semua masih keluarga jauh.
Dan mungkin, justru karena itulah kita tetap bertahan di sini.
Banyak orang punya kesempatan pergi. Banyak yang mencoba. Ada yang berhasil, ada yang kembali. Yang kembali biasanya membawa satu kesimpulan sederhana: Indonesia memang melelahkan, tapi juga memeluk. Ia membuat kita mengeluh, tapi juga memberi rasa pulang.
Kita bisa marah pada negara ini. Kita boleh kecewa. Kita boleh lelah. Tapi entah kenapa, kita jarang benar-benar ingin melepaskannya. Karena negeri ini bukan sekadar tempat tinggal. Ia ruang tumbuh. Tempat kita belajar sabar, belajar berdamai, dan belajar menerima bahwa hidup tidak selalu ideal.
Menertawakan, mengkritik, dan mencintai—di Indonesia, ketiganya berjalan bersamaan. Kita mengeluh sambil bertahan. Kita mencaci sambil membela. Kita marah sambil berharap. Kontradiktif, tapi jujur.
Dan mungkin itulah identitas kita. Bukan bangsa yang selalu sepakat, tapi bangsa yang terus berdebat tanpa bubar. Bukan bangsa yang bebas masalah, tapi bangsa yang enggan menyerah.
Karena pada akhirnya, negeri yang paling layak kita bela bukan negeri yang tidak pernah salah, tapi negeri yang kita anggap rumah. Rumah tempat kita boleh mengkritik tanpa diusir. Rumah tempat kita boleh marah tanpa kehilangan. Rumah tempat kita tahu, seburuk apa pun hari ini, esok masih ada harapan.
Indonesia adalah rumah itu. Tidak sempurna. Kadang berisik. Kadang berantakan. Tapi selalu kita pulang.