Filosofi Jajan Sederhana: Mencari Bahagia dalam Bungkus Plastik dan Gerobak Pinggir Jalan
Filosofi Jajan Sederhana: Mencari Bahagia dalam Bungkus Plastik dan Gerobak Pinggir Jalan
Oleh: Akang Marta
Di tengah deru dunia yang semakin kompetitif, di mana standar kesuksesan sering kali diukur dari angka di saldo rekening atau kemewahan yang terpampang di media sosial, muncul sebuah narasi yang sangat membumi: “Jajan sederhana, bahagianya luar biasa.” Kalimat ini mungkin terdengar seperti pembelaan diri bagi mereka yang berkantong tipis, namun jika kita bedah lebih dalam, ia adalah sebuah manifesto tentang kedaulatan emosional dan kembalinya kita pada esensi kebahagiaan yang paling murni.
Jajan bukan sekadar aktivitas transaksi antara pembeli dan penjual makanan. Ia adalah sebuah ritus kebudayaan kecil. Di Indonesia, jajan adalah bagian dari napas keseharian. Dari aroma bakso yang menusuk hidung di sore hari, gurihnya gorengan yang dibungkus kertas koran, hingga manisnya es cendol di tengah terik matahari. Pertanyaannya, mengapa sesuatu yang "sederhana" ini bisa menghasilkan efek "luar biasa"?
Melawan Diktat Konsumerisme Modern
Kita hidup di era di mana industri kuliner telah bertransformasi menjadi industri gaya hidup. Makan tidak lagi hanya soal kenyang atau rasa, tapi soal "pengalaman" (experience) dan "citra" (image). Restoran mewah dengan pencahayaan estetik dan piring-piring lebar berisi porsi minimalis sering kali menuntut harga yang tidak hanya membayar bahan baku, tetapi juga membayar gengsi.
Dalam konteks ini, memilih untuk jajan sederhana—misalnya sepiring siomay di pinggir jalan atau segelas kopi tubruk di warung kopi—adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap diktat konsumerisme. Bahagia yang "luar biasa" muncul karena tidak ada beban ekspektasi di sana. Kita tidak perlu berpakaian rapi, tidak perlu memesan tempat, dan tidak perlu merasa tertekan untuk mengambil foto demi validasi orang lain. Bahagia itu murni datang dari pertemuan antara lidah yang rindu rasa autentik dengan harga yang bersahabat bagi jiwa (dan dompet).
Nostalgia dan Jangkar Memori
Salah satu alasan mengapa jajan sederhana terasa begitu nikmat adalah karena adanya unsur nostalgia. Hampir setiap orang memiliki memori masa kecil yang terkait dengan jajanan tertentu. Aroma kayu manis pada kue tradisional atau suara uap dari gerobak putu adalah mesin waktu instan yang membawa kita kembali ke masa-masa di mana masalah terbesar kita hanyalah tugas sekolah.
Psikologi menyebutkan bahwa makanan sering kali menjadi "comfort food" karena ia berfungsi sebagai jangkar memori. Saat kita merasa stres dengan tuntutan pekerjaan sebagai orang dewasa, jajan sederhana bertindak sebagai pelukan emosional. Ia mengingatkan kita bahwa ada bagian dari diri kita yang tetap sederhana, yang tetap bisa dipuaskan hanya dengan sebungkus cilok. Bahagianya menjadi luar biasa karena ia memulihkan kepingan diri kita yang hilang di tengah hiruk-pikuk kedewasaan.
Jajan sebagai Perekat Sosial dan Ekonomi Kerakyatan
Secara sosiologis, jajan sederhana adalah bentuk interaksi sosial yang paling jujur. Di depan gerobak gorengan, status sosial sering kali melebur. Seorang manajer perusahaan bisa berdiri berdampingan dengan driver ojek online, sama-sama menanti tempe mendoan panas. Di sana ada percakapan ringan, ada senyum tipis, dan ada pengakuan atas kemanusiaan satu sama lain.
Lebih jauh lagi, narasi "jajan sederhana" adalah bentuk dukungan nyata terhadap ekonomi mikro. Ketika kita merasa bahagia setelah membeli jajanan dari pedagang kecil, kebahagiaan itu bersifat timbal balik. Uang yang kita keluarkan mungkin kecil bagi kita, namun sangat berarti bagi keberlangsungan hidup keluarga sang pedagang. Ada kepuasan batin yang muncul ketika kita menyadari bahwa transaksi kecil tersebut ikut memutar roda ekonomi kerakyatan. Inilah yang membuat kebahagiaan tersebut terasa "luar biasa"—ia mengandung unsur empati dan keberkahan.
Paradoks Pilihan: Mengapa Sederhana Itu Indah?
Seorang psikolog bernama Barry Schwartz pernah mencetuskan teori "The Paradox of Choice". Ia berpendapat bahwa terlalu banyak pilihan justru membuat manusia tidak bahagia karena melahirkan kecemasan akan salah pilih dan penyesalan. Di restoran mewah dengan menu setebal buku, kita sering kali bingung dan merasa terbebani.
Sebaliknya, jajan sederhana menawarkan keterbatasan yang memerdekakan. Pilihan yang terbatas membuat otak kita lebih cepat mencapai titik kepuasan. Ketika ekspektasi kita rendah, kejutan kecil berupa rasa sambal yang pas atau tekstur makanan yang renyah akan dirasakan sebagai kemenangan besar. Inilah kunci mengapa kesederhanaan selalu berbanding lurus dengan ketenangan pikiran.
Jajan dan Rasa Syukur: Perspektif Spiritual
Dalam sudut pandang yang lebih religius dan spiritual, menikmati jajanan sederhana adalah latihan praktis dalam bersyukur (gratitude). Kita sering kali terjebak dalam pemikiran bahwa kita baru bisa bahagia jika mendapatkan hal-hal besar: naik jabatan, membeli rumah baru, atau liburan ke luar negeri. Padahal, hidup terdiri dari ribuan momen kecil di antara peristiwa-peristiwa besar tersebut.
Menikmati jajan sederhana mengajarkan kita untuk "hadir" sepenuhnya di saat ini (mindfulness). Saat kita benar-benar mencecap rasa gurih, manis, dan pedas dari makanan murah tersebut, kita sedang merayakan pemberian Tuhan yang paling dasar. Kebahagiaan menjadi luar biasa ketika kita berhenti mengejar apa yang tidak ada dan mulai mencintai apa yang tersedia di depan mata. Seperti kata pepatah, "Bukan kebahagiaan yang membuat kita bersyukur, tapi bersyukurlah yang membuat kita bahagia."
Media Sosial dan Redefinisi "Self-Reward"
Namun, kita juga harus kritis melihat bagaimana istilah "jajan" belakangan ini bergeser menjadi istilah "healing" atau "self-reward" yang terkadang kebablasan. Di era media sosial, ada kecenderungan orang melakukan "jajan" bukan karena lapar atau rindu rasa, tapi sebagai pelarian dari masalah kesehatan mental.
Opini publik sering kali memvalidasi bahwa "tidak apa-apa jajan banyak demi kewarasan". Hal ini bisa menjadi jebakan jika tidak dibarengi dengan kesadaran diri. Jajan sederhana yang membahagiakan adalah yang dilakukan dengan penuh kesadaran, bukan sebagai kompensasi atas rasa hampa yang seharusnya diselesaikan dengan cara lain. Bahagia itu luar biasa jika ia bersifat substantif, bukan sekadar lonjakan dopamin sesaat yang kemudian diikuti oleh rasa bersalah karena pengeluaran yang tak terkendali.
Menjaga Tradisi Jajan di Tengah Globalisasi
Tantangan terbesar bagi narasi "jajan sederhana" di masa depan adalah serbuan waralaba global dan makanan cepat saji yang diproses secara industri. Jajanan tradisional kita menghadapi kompetisi dari makanan-makanan viral yang sering kali hanya mengandalkan tampilan visual demi kepentingan konten media sosial.
Mempertahankan kegemaran jajan sederhana adalah bentuk pelestarian budaya. Setiap bungkus makanan tradisional mengandung pengetahuan lokal, teknik memasak turun-temurun, dan kearifan lokal. Menjadi bahagia dengan jajanan pasar adalah bentuk apresiasi terhadap identitas bangsa. Kita tidak butuh "croissant" setiap pagi untuk merasa modern, jika segelas kopi dan sepiring pisang goreng sudah cukup untuk membuat jiwa kita bernyanyi.
Kebahagiaan adalah Keputusan
Pada akhirnya, narasi "jajan sederhana, bahagianya luar biasa" membawa kita pada satu kesimpulan besar: kebahagiaan adalah sebuah keputusan, bukan sebuah tujuan akhir. Kebahagiaan tidak terletak pada harga makanan, lokasi tempat makan, atau seberapa mahal merek yang menempel pada kemasannya.
Kebahagiaan terletak pada kemampuan kita untuk menyederhanakan keinginan dan membesarkan rasa syukur. Ia ada pada kepulan asap bakso di sore hari yang dingin, pada renyahnya kerupuk di kaleng warung, dan pada obrolan ringan dengan penjual langganan.
Dunia mungkin akan terus berubah, harga-harga mungkin akan terus naik, dan tren kuliner akan datang dan pergi. Namun, selama kita masih bisa menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil seperti jajan di pinggir jalan, maka kita adalah orang-orang yang merdeka. Kita tidak bisa didikte oleh kemewahan, karena kita telah menemukan "kemewahan" itu sendiri di dalam kesederhanaan.
Jadi, jangan ragu untuk menepi sejenak. Belilah jajanan favoritmu yang paling sederhana itu, nikmati setiap gigitannya, dan rasakan betapa luasnya kebahagiaan yang bisa ditampung oleh sesuatu yang harganya mungkin hanya beberapa ribu rupiah saja. Sebab di sana, di balik bungkus plastik dan kertas minyak itu, sering kali tersimpan kedamaian yang tidak bisa dibeli oleh seluruh emas di dunia.
