Ads

Ketika Segalanya Dinaikkan ke Langit: Antara Kesalehan Lisan dan Tanggung Jawab Sosial

 

Ketika Segalanya Dinaikkan ke Langit: Antara Kesalehan Lisan dan Tanggung Jawab Sosial

Ditulis oleh: M Nurudin


Ada sebuah kebiasaan yang tumbuh pelan-pelan, nyaris tanpa disadari, lalu mengeras menjadi budaya. Setiap kali muncul masalah—sekecil apa pun—kata-kata seperti tawakal, pasrah, atau biarlah Tuhan yang menyelesaikan langsung menjadi penutup pembicaraan. Kalimat-kalimat itu terdengar saleh, menenangkan, dan religius. Namun di balik itu, sering kali tersembunyi satu hal yang absen: kemauan untuk menyelesaikan persoalan secara nyata.

Fenomena ini bukan berarti masyarakat kehilangan iman. Justru sebaliknya, secara verbal dan simbolik, masyarakat tampak sangat religius. Doa dipanjatkan, istilah agama diucapkan, dan rujukan kepada Tuhan nyaris selalu hadir. Masalahnya muncul ketika semua urusan—termasuk yang sepenuhnya bersifat teknis dan sosial—langsung dinaikkan ke langit, seolah-olah tidak ada peran manusia yang harus dijalankan di bumi.

Padahal, banyak persoalan sehari-hari yang jelas-jelas bukan urusan langit. Sampah yang menumpuk di sudut kampung bukan perkara takdir. Jalan berlubang bukan semata ujian iman. Administrasi desa yang kacau bukan cobaan spiritual. Semua itu adalah persoalan manusia, yang seharusnya selesai di meja rapat warga, dalam musyawarah RT, atau melalui keputusan konkret aparat setempat. Namun karena dibungkus dengan bahasa religius, persoalan itu sering dibiarkan menggantung tanpa tindak lanjut.

Di sinilah ironi mulai terasa. Kesalehan lisan berjalan cepat, tetapi disiplin sosial berjalan tertatih. Doa lancar diucapkan, tetapi koordinasi macet dijalankan. Masyarakat bisa kompak dalam acara keagamaan, namun sulit berkumpul untuk kerja bakti. Rapat warga sepi, tetapi pengajian penuh. Ini bukan soal memilih salah satu, melainkan soal ketimpangan antara ritual dan tanggung jawab sosial.

Menyandarkan semua persoalan kepada Tuhan sering kali menjadi jalan pintas untuk menghindari konflik, keputusan, dan kerja keras. Bukan karena orang tidak mampu, tetapi karena tidak terbiasa. Menghadapi masalah sosial membutuhkan keberanian: berani bicara, berani menegur, berani tidak disukai, dan berani mengambil keputusan. Doa terasa lebih aman, karena tidak menuntut risiko sosial apa pun.

Akibatnya, muncul pola pikir yang problematik. Sampah menumpuk, lalu disalahkan takdir. Lingkungan tidak aman, lalu dikaitkan dengan “jaman sudah rusak”. Jalan rusak bertahun-tahun, dianggap sebagai cobaan kesabaran. Semua diterima dengan pasrah, seolah-olah sikap pasif adalah bentuk kesalehan. Padahal, dalam konteks sosial, pasrah yang tanpa usaha sering kali hanyalah nama lain dari pembiaran.

Ironisnya, sikap ini justru merendahkan akal dan kemampuan yang telah diberikan kepada manusia. Seolah-olah Tuhan hanya menghendaki doa, bukan kerja. Padahal, hampir semua ajaran agama menempatkan usaha sebagai bagian dari ibadah. Bekerja dengan jujur, bermusyawarah dengan adil, dan menyelesaikan masalah bersama adalah wujud kesalehan yang konkret, bukan pengganti doa, tetapi pasangan yang tidak terpisahkan.

Ketika urusan teknis terus-menerus dilemparkan ke langit, yang terjadi adalah kelumpuhan sosial. Tidak ada yang merasa bertanggung jawab. Semua menunggu “keajaiban”, padahal yang dibutuhkan hanyalah keputusan sederhana. Tidak ada yang mau memimpin, karena kepemimpinan berarti siap disalahkan. Tidak ada yang mau menegur, karena takut dianggap tidak sopan. Akhirnya, masalah kecil dibiarkan tumbuh menjadi persoalan besar.

Mengembalikan persoalan ke tempatnya adalah tanda kedewasaan sosial. Urusan iman tetaplah urusan iman. Doa tetaplah penting. Namun urusan sosial harus diselesaikan secara sosial. Tuhan tidak pernah meminta manusia menunggu mukjizat sambil membiarkan lingkungan rusak. Justru manusia diminta untuk menggunakan akalnya, bekerja sama, dan bertanggung jawab atas ruang hidupnya.

Usaha itu sering kali dimulai dari hal yang sangat kecil. Berani bicara di forum warga ketika ada masalah. Berani menegur pelanggaran ringan sebelum menjadi kebiasaan. Berani menuntut transparansi dari pengurus lingkungan. Berani memilih pemimpin lokal yang amanah, bukan sekadar populer atau “dekat secara emosional”. Semua ini tidak membutuhkan wahyu, hanya membutuhkan kesadaran dan keberanian.

Sayangnya, budaya “menaikkan semua ke langit” sering kali diwariskan tanpa kritik. Anak-anak tumbuh melihat orang dewasa mengeluh tanpa bertindak. Mereka belajar bahwa diam adalah pilihan aman, dan pasrah adalah solusi universal. Dalam jangka panjang, ini membentuk masyarakat yang religius secara simbolik, tetapi rapuh secara struktural.

Padahal, masyarakat yang kuat justru lahir dari keseimbangan antara iman dan tindakan. Doa memberi arah, tetapi kerja memberi bentuk. Harapan memberi energi, tetapi aturan memberi kepastian. Tanpa kerja, doa menjadi wacana kosong. Tanpa aturan, harapan berubah menjadi ilusi.

Ketika masyarakat mulai sadar bahwa tidak semua harus “naik ke langit”, barulah relasi dengan Tuhan menjadi lebih bermartabat. Tuhan tidak lagi dijadikan tempat pelarian dari tanggung jawab, melainkan sumber nilai untuk bekerja lebih jujur dan adil. Kesalehan tidak berhenti di lisan, tetapi turun ke tindakan.

Negeri ini, pada dasarnya, tidak kekurangan orang yang berdoa. Yang sering kurang adalah orang yang mau mengerjakan hal-hal sederhana secara konsisten. Membersihkan lingkungan, menjaga fasilitas umum, menegakkan aturan kecil, dan menyelesaikan konflik secara dewasa. Semua itu terlihat remeh, tetapi justru di situlah fondasi peradaban dibangun.

Jika setiap persoalan kecil terus dilemparkan ke langit, maka langit akan terasa jauh, dan bumi akan semakin kacau. Sebaliknya, jika manusia berani mengambil kembali tanggung jawabnya, doa akan menemukan maknanya yang sejati. Bukan sebagai pengganti usaha, tetapi sebagai penguat langkah.

Pada akhirnya, memuliakan Tuhan tidak cukup dengan menyebut nama-Nya di setiap masalah. Memuliakan Tuhan berarti menggunakan akal, tenaga, dan kebersamaan yang telah dianugerahkan. Karena sering kali, jawaban atas doa tidak turun dari langit dalam bentuk keajaiban, tetapi lahir dari keberanian manusia untuk bekerja, bermusyawarah, dan bertindak.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel