Ads

Legenda Alas Sinang Bagian 8: Catatan Cakrabuana dalam Carita Purwaka Caruban Nagari

 

Jejak Sejarah dan Legenda 3: Kesaksian Lisan Indramayu



Dalam wawancara tradisi lisan yang dilakukan pada tahun 1980-an, para sesepuh desa menceritakan kembali kisah masa lampau tentang Cempaka Mulia. Konon, pada abad ke-15 hingga ke-16 Masehi, pedukuhan ini menjadi salah satu titik perhentian penting bagi para pedagang yang melintasi jalur darat antara pesisir dan pedalaman. Para pedagang yang datang dari arah Cirebon dan Indramayu pesisir membawa garam, ikan asin, serta hasil laut lainnya. Sementara itu, dari pedalaman Pajajaran dan hutan-hutan sekitarnya, dibawa hasil bumi seperti kayu, madu, rotan, dan beras ladang. Pertemuan dua kelompok pedagang ini menjadikan Cempaka Mulia berfungsi sebagai simpul ekonomi kecil yang hidup, meski tidak sebesar pelabuhan utama di Cirebon.

Menurut penuturan para sesepuh, sistem barter menjadi cara utama dalam transaksi pada masa itu. Garam, yang kala itu menjadi komoditas bernilai tinggi, sering ditukar dengan kayu keras untuk perahu, atau madu hutan yang diyakini berkhasiat sebagai obat. Dari interaksi ini pula, masyarakat setempat mulai terbiasa berhubungan dengan pendatang dari luar, sehingga terbentuk sikap terbuka namun tetap mempertahankan akar tradisi mereka.

Selain sebagai pusat pertukaran ekonomi, Cempaka Mulia juga berperan dalam pembentukan identitas kultural. Setiap kali pedagang pesisir berhenti di pedukuhan ini, mereka membawa cerita, lagu, dan dialek bahasa yang berbeda dengan masyarakat pedalaman. Dari sinilah perlahan muncul percampuran bahasa Sunda dan Jawa yang kemudian berkembang menjadi dialek khas Indramayu, terutama dialek reang yang kuat di wilayah pedalaman. Hal ini membedakannya dengan dialek isun yang lebih banyak dipakai di wilayah pesisir utara.

Kehidupan ekonomi yang berlangsung di Cempaka Mulia tidak hanya sebatas transaksi barang, tetapi juga menciptakan jaringan sosial dan perkawinan antarkelompok. Banyak kisah lama menyebutkan bahwa beberapa keluarga di pedukuhan ini merupakan keturunan dari pernikahan antara pedagang pesisir dengan penduduk lokal. Perkawinan semacam itu semakin memperkuat akulturasi budaya, baik dalam bahasa, seni, maupun tradisi ritual.

Jejak keberadaan Cempaka Mulia sebagai simpul ekonomi kecil dapat pula dilihat dari sisa-sisa jalur dagang yang hingga kini masih dikenal oleh masyarakat sekitar. Nama-nama tempat tertentu di Indramayu sering kali merujuk pada aktivitas perdagangan kuno, misalnya toponimi yang berkaitan dengan garam, ikan, atau hutan. Walaupun skala perdagangan itu kemudian meredup setelah pusat ekonomi bergeser ke pelabuhan besar di Cirebon dan Indramayu kota, memori kolektif tentang Cempaka Mulia tetap hidup melalui tradisi lisan.

Narasi ini menunjukkan bahwa peran pedukuhan kecil tidak bisa diabaikan dalam sejarah lokal. Meski tidak tercatat dalam naskah resmi atau arsip kerajaan, kisah tentang Cempaka Mulia memperlihatkan betapa jalur perdagangan tradisional membentuk pola permukiman, struktur sosial, hingga identitas budaya masyarakat Indramayu. Sejarahnya adalah bukti bahwa ekonomi rakyat, walau sederhana, selalu berkontribusi terhadap dinamika peradaban. Hingga kini, cerita para sesepuh itu masih dipelihara sebagai bagian dari warisan sejarah lokal yang memperkaya pemahaman kita tentang akar budaya Indramayu.

Kontributor

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel