Ads

Legenda Alas Sinang Bagian 1 : Asal-Usul Pedukuhan Cempaka Mulia

 

Asal-Usul Pedukuhan Cempaka Mulia: Antara Legenda dan Sejarah



Setiap daerah memiliki kisah asal-usul yang diwariskan turun-temurun, seringkali bercampur antara legenda, mitos, dan catatan sejarah. Demikian pula dengan Pedukuhan Cempaka Mulia, sebuah pemukiman kecil yang diyakini berdiri sejak abad ke-15 Masehi di kawasan timur hutan Sinang, Indramayu. Nama “Cempaka Mulia” sendiri sarat makna: “cempaka” melambangkan kesucian dan keteduhan, sementara “mulia” menunjukkan harapan akan martabat dan kesejahteraan masyarakatnya.

Kisah lahirnya pedukuhan ini bukan hanya dongeng rakyat belaka, melainkan memiliki jejak historis. Dalam Babad Cirebon misalnya, disebutkan bahwa pada masa Pangeran Cakrabuana mendirikan Caruban Nagari (Cirebon) sekitar tahun 1479, wilayah timur Sinang telah dihuni oleh kelompok pelarian dan pendatang. Naskah tersebut menyebut:

“...Wangsakerta sang Prabu Cakrabuana, angandika miwah ngadegaken nagara anyar, Cirebon aranipun. Ing wewengkon wétan alas Sinang, para pelarian sami anggadhahi papan anyar.”
(Babad Cirebon, terjemahan bebas)

Catatan ini menunjukkan bahwa keberadaan pemukiman di sekitar Sinang, yang kelak dikenal sebagai Cempaka Mulia, sudah menjadi bagian dari jaringan sosial dan politik Cirebon pada masa awal Islamisasi Jawa bagian barat.

Hutan Sinang sendiri digambarkan sebagai kawasan lebat, penuh pepohonan besar dan satwa liar. Namun, kesuburan tanahnya menarik minat banyak pendatang. Ada kelompok peladang yang membuka huma dan sawah, ada pula tukang kayu dan pemburu yang hidup dari hasil hutan. Tidak sedikit pula pengungsi politik dari Pajajaran maupun Majapahit yang menetap di sana karena peperangan dan konflik kerajaan.

Legenda setempat mengisahkan, di tengah hutan terdapat sebuah pohon cempaka putih yang besar dan harum. Pohon ini dianggap keramat, menjadi tempat masyarakat bersumpah setia untuk hidup damai dan bergotong-royong. Dari pohon inilah lahir nama Cempaka Mulia, sebuah simbol persatuan dan keberkahan.

Keunikan lain dari pedukuhan ini adalah bahasanya. Masyarakat Cempaka Mulia menggunakan dialek hasil percampuran bahasa Sunda dan Jawa. Dialek ini kemudian dikenal sebagai bahasa Indramayu reang, berbeda dengan dialek isun yang lazim di pesisir. Perbedaan tutur bahasa ini menjadi penanda bahwa Cempaka Mulia adalah titik pertemuan budaya pedalaman dan pesisir, mencerminkan keberagaman masyarakat Indramayu sejak masa awal.

Tradisi lisan masyarakat juga memperkuat jejak sejarahnya. Sesepuh desa menuturkan bahwa Cempaka Mulia menjadi tempat persinggahan pedagang garam dan ikan dari pesisir yang hendak menuju pedalaman. Mereka menukar hasil laut dengan hasil hutan, menjadikan pedukuhan ini simpul kecil perdagangan lokal.

Dengan demikian, Cempaka Mulia bukan sekadar legenda. Ia merupakan cermin percampuran antara mitos dan realitas sejarah. Dari pohon cempaka putih yang keramat, hingga catatan Cakrabuana dalam Babad Cirebon, semuanya membentuk mosaik identitas Indramayu.

Hingga kini, kisah asal-usul Pedukuhan Cempaka Mulia terus diwariskan. Bagi masyarakat, cerita ini bukan hanya pengingat tentang leluhur, tetapi juga fondasi nilai: kebersamaan, keberanian membuka jalan baru, dan kemampuan hidup harmonis di tengah perbedaan.


Kontributor

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel