Bagian 21. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Bayangan Bulan Purnama: Strategi
Wirasaba di Tengah Hutan
Di malam yang gelap dan sunyi, cahaya obor berkelip di perkemahan prajurit
Cirebon, menari di wajah-wajah tegang para panglima. Di tengah cahaya itu duduk
Tumenggung Wirasaba, menatap peta hutan Alas Sinang yang
terbentang di depannya. Garis-garis lembut digambar dengan arang, menandai
sungai, pohon besar, dan jalur rahasia yang mungkin digunakan oleh Ki Dusta dan
pengikutnya.
Wirasaba menghela napas panjang. Ia tahu, menghadapi Ki Dusta bukan perkara
mudah. Legenda tentang gurunya yang sakti telah terdengar hingga ke keraton
Cirebon. Banyak yang berkata, Ki Dusta mampu memanggil angin, menundukkan musuh
tanpa pedang, bahkan memutar alam sesuai kehendaknya. Namun Tumenggung Wirasaba
adalah prajurit ulung, terbiasa menghadapi situasi sulit. Ia memanggil para
panglima kecil di sekelilingnya, menyusun rencana dengan hati-hati.
“Ki Dusta bukan lawan sembarangan,” ujar Wirasaba dengan
suara berat, hampir berbisik agar tidak terdengar oleh para prajurit. “Ia punya
ilmu tua, mampu memanggil angin. Tapi setiap ilmu ada batasnya. Kita sergap
saat bulan purnama, ketika tenaganya melemah. Dan ingat, target utama bukan
hanya dia, tapi Dyahrengganis.”
Para panglima saling bertukar pandang, sadar bahwa ini bukan sekadar
pertempuran biasa. Mereka tengah menghadapi seorang pemimpin sakti yang
memadukan ilmu kanuragan dengan kecerdikan politik, serta memiliki pengikut
setia yang siap mengorbankan diri demi kehormatan pedukuhan mereka.
Di sisi lain, duduk Pangeran Cakranegara, keponakan jauh
Sunan Gunung Jati. Wajahnya tampak angkuh, matanya menatap peta seolah melihat
jalur untuk meraih satu-satunya harta yang menjadi obsesi hatinya:
Dyahrengganis. Ia mencondongkan badan, menepuk pundak salah seorang panglima
yang duduk di dekatnya, lalu bersuara dengan nada dingin namun tegas:
“Aku hanya mau gadis itu hidup. Bila ayahnya mati, biarlah. Bila
pemuda bernama Suta itu menghalangi, bunuh dia. Dyahrengganis harus jadi
milikku. Itulah harga kemenangan kita.”
Pernyataan itu membuat ruangan sesaat hening. Para panglima tahu bahwa ambisi
Cakranegara bukan sekadar politik atau kepentingan kerajaan. Ini soal nafsu
pribadi, keinginan untuk memiliki seorang putri yang cantik dan berbudi. Dalam
folklor Indramayu, momen ini digambarkan sebagai titik di mana peperangan
berhenti menjadi soal tanah atau kekuasaan, dan berubah menjadi konflik hati
manusia: antara keserakahan dan kehormatan, nafsu dan kebenaran.
Wirasaba menatap ke arah peta, matanya tajam. Ia memahami bahwa strategi
harus sempurna. Hutan Alas Sinang terkenal dengan pepohonan lebat dan
jalan-jalan rahasia yang hanya diketahui oleh penduduk lokal. Setiap langkah
salah bisa membuat pasukannya tersesat, atau lebih buruk lagi, jatuh ke jebakan
Ki Dusta.
“Kita tidak boleh gegabah,” kata Wirasaba, menekankan pada
semua panglima. “Kita tunggu bulan purnama. Saat itu, ilmu Ki Dusta melemah.
Kita akan sergap dengan barisan terlatih, menutup semua jalur keluar. Ingat,
jangan biarkan Dyahrengganis lolos. Dia adalah kunci untuk menundukkan Ki Dusta
tanpa pertumpahan darah yang sia-sia—atau sekadar yang bisa kita hindari.”
Para panglima mengangguk. Mereka mencatat setiap jalur rahasia, menandai
tempat-tempat yang memungkinkan mereka menyergap, menyiapkan jebakan di sungai
dan tanah lembab. Mereka bahkan menyiapkan pasukan khusus untuk menghadapi Suta
Pradana, yang dianggap sebagai penghalang utama. Dalam versi lisan, para tetua
selalu menekankan bahwa peran Suta sebagai pemuda sederhana tapi berani adalah
bagian dari legenda: keberaniannya bisa membalikkan nasib pedukuhan jika Ki
Dusta sedang terdesak.
Di luar gubuk perkemahan, hutan tetap hening. Cahaya kunang-kunang dan
bayangan bulan purnama menari di antara pepohonan, seolah mengetahui bahwa
malam ini bukan sembarang malam. Dalam folklore, dikisahkan bahwa hutan Alas
Sinang selalu “berbisik” ketika strategi perang disusun; angin membawa kabar ke
daun-daun tua, seakan memberi peringatan kepada roh leluhur dan penduduk yang
bijaksana.
Wirasaba menatap ke arah bulan purnama yang mulai menanjak di langit. Cahaya
itu menyinari peta di depannya, memberi bayangan panjang pada garis-garis jalur
hutan. Ia menepuk tangannya, memberi isyarat kepada panglima: rencana akan
dijalankan malam ini. Namun, dalam hatinya, ada rasa cemas. Ki Dusta bukan
lawan biasa; ilmu leluhur dan keberanian rakyatnya bisa membuat strategi yang
paling rapi pun berantakan.
Cerita rakyat selalu menceritakan malam itu sebagai “Bayangan Bulan
Purnama,” di mana intrik, ambisi, dan strategi manusia berpadu dalam
satu tarian gelap di tengah hutan. Kisah ini menjadi pengingat bagi generasi
selanjutnya: bahwa dalam setiap peperangan, bukan hanya kekuatan fisik yang
diuji, tetapi hati, nafsu, dan keberanian manusia yang akan menentukan nasib
sebuah pedukuhan, seorang putri, dan cahaya yang menyertainya.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com