Ads

Bagian 12. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis

 

Pertemuan Kedua dan Pengkhianatan: Bara di Cempaka Mulia



Ketegangan di Cempaka Mulia kian memuncak. Setelah kedatangan pertama yang berakhir dengan penolakan lamaran Pangeran Cakranegara, kabar mulai berembus di pesisir: Cirebon menilai dukuh yang dipimpin Ki Dusta itu telah membangkang. Angin sore membawa bau kemenyan dari rumah-rumah penduduk, seakan alam pun menyiapkan panggung untuk peristiwa besar berikutnya.

Suatu pagi, debu jalan kembali berterbangan. Dari kejauhan terdengar derap kuda yang lebih berat, diikuti sorak-sorai prajurit. Ki Wirasaba, utusan Cirebon, datang lagi, kali ini dengan wajah lebih keras dan mata yang tajam seperti pedang. Ia memasuki pendopo dengan langkah pasti, panji bulan sabit bergoyang di belakangnya.

Kakang Dusta, jangan keras kepala!” serunya lantang. “Ikutlah pada jalan Islam. Nikahkan Dyahrengganis dengan Pangeran Cakranegara. Itu jalan terbaik agar darah tidak tertumpah di antara kita.”

Ki Dusta menatap Wirasaba dengan mata tenang, seolah membaca hati sang utusan. Suaranya terdengar berat namun penuh wibawa.
Adatku bukan barang dagangan, dan putriku bukan tumbal politik. Bila Cirebon ingin perang, aku tak takut. Tapi jangan harap aku menjual kehormatan keluargaku.”

Pendopo menjadi hening. Rakyat yang menyaksikan menahan napas, sementara Ki Koang dan Ki Brangbang berdiri di sisi guru mereka, menatap lawan dengan waspada. Rasa hormat campur cemas menyelimuti mereka; udara terasa tegang, seolah hutan di sekeliling menahan napas.

Dialog itu memecah hubungan sepenuhnya. Wirasaba menoleh, wajahnya merah karena marah dan malu. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, ia menunggang kuda dan bergegas kembali ke Cirebon, membawa kabar bahwa Ki Dusta menolak tunduk sepenuhnya.

Sejak hari itu, Ki Dusta segera menyiapkan murid-muridnya menjaga batas dukuh. Ki Koang patroli di tepi hutan Alas Sinang, mengawasi setiap jalur masuk, sementara Ki Brangbang mengatur warga untuk bersiap siaga. Mereka tahu, meski mereka cinta damai, Cirebon tak mungkin membiarkan penolakan berlangsung lama.

Namun, ancaman terbesar datang dari dalam. Jaka Lodra, murid kecil yang iri, mulai menyalurkan rasa dengkinya. Ia tidak tahan melihat Ki Koang dan Ki Brangbang menjadi tangan kanan Ki Dusta, sementara dirinya hanya menjadi pengikut biasa. Malam itu, ketika bulan tertutup awan gelap, Jaka Lodra menyelinap keluar pedukuhan.

Dengan langkah bergetar namun penuh tekad, ia menuju perkemahan prajurit Cirebon yang berjarak beberapa kilometer. Di sana, ia membocorkan jalur rahasia menuju Cempaka Mulia, menyebutkan titik-titik penting: jalan setapak yang tersembunyi di Alas Sinang, titik penyeberangan sungai, serta lokasi gubuk-gubuk penting di tepi dukuh. Sebagai imbalan, ia dijanjikan jabatan tinggi dan harta berlimpah.

Namun pengkhianatan itu tidak berjalan mulus seperti yang dibayangkan Jaka Lodra. Sejak malam itu, bisik-bisik aneh mulai terdengar di hutan. Pepohonan bergemerisik, meski tidak ada angin, dan daun-daun jatuh tanpa sebab. Rakyat percaya, arwah leluhur marah karena ada darah anak dukuh yang hendak menjerumuskan tanahnya sendiri. Mereka mendengar suara lirih memanggil nama Jaka Lodra, seakan hutan itu sendiri menegur pengkhianat.

Legenda menyebutkan, Ki Dusta mengetahui perilaku muridnya lewat bisikan alam. Malam-malam berikutnya, ia menatap hutan dengan mata tajam, membaca mantra-mantra kuno, dan memanggil roh leluhur untuk menjaga dukuh. Ki Koang dan Ki Brangbang pun diperintahkan berjaga lebih ketat, tidak hanya di jalan masuk, tetapi juga di sekitar sawah dan tepi sungai, karena mereka tahu bahwa pengkhianatan dari dalam lebih berbahaya daripada serangan musuh dari luar.

Rakyat Cempaka Mulia hidup dalam ketegangan ganda: di satu sisi ada ancaman politik dari Cirebon, di sisi lain ada rasa takut akan murka leluhur yang bangkit karena pengkhianatan Jaka Lodra. Setiap malam, mereka menyalakan api unggun di pendopo, membakar dupa dan bunga tujuh rupa, memohon keselamatan.

Dalam versi Carita Indramayu yang turun-temurun, malam-malam itu disebut sebagai malam bisik hutan. Dikatakan bahwa siapapun yang mendengar suara-suara aneh di Alas Sinang, sebaiknya tidak berjalan sendiri, karena roh-roh penjaga tanah sedang menegur orang-orang yang mengkhianati kepercayaan dan leluhur.

Dan begitulah, pengkhianatan Jaka Lodra menorehkan awal bencana. Hubungan antara Cempaka Mulia dan Cirebon semakin tegang, ketegangan politik kian memuncak, sementara gelora hutan dan bisikan leluhur menjadi saksi bisu dari konflik yang tak hanya soal kekuasaan, tetapi juga soal kesetiaan, kehormatan, dan keberanian hati manusia.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel