Bagian 32. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Murka yang Tak Terbendung: Akar
Pembalasan Alas Sinang
Malam itu, hutan Alas Sinang bergemuruh oleh semangat dan amarah. Ki Koang
dan Ki Brangbang berdiri di tengah medan perang, tubuh mereka penuh luka, darah
mengalir di kulit dan pakaian, namun mata mereka menyala oleh keberanian dan
tekad. Sorak-sorai mereka bergema di antara pepohonan, menimbulkan getaran yang
terasa hingga ke dasar sungai. Musuh yang awalnya gagah dan percaya diri kini
terlihat ketakutan, langkah mereka tergesa-gesa, senjata bergetar di tangan,
dan hati mereka dipenuhi rasa gentar.
Ki Koang menerjang dengan tombak yang mengeluarkan kilatan cahaya dari
setiap ayunan. Darah mengucur dari luka di lengannya, tetapi ia tetap berdiri
tegak, menatap lawan dengan keberanian yang tak tergoyahkan. Ki Brangbang,
meski tubuhnya lemah akibat pertempuran sebelumnya, tetap maju, pedang
terhunus, menyapu musuh dengan gerakan cepat dan tepat. Setiap kali senjata
mereka beradu dengan musuh, percikan cahaya seakan menandai kemenangan kecil
yang mereka raih, dan setiap sorakan menambah keberanian rekan-rekannya.
Namun di tengah pergolakan itu, Jaka Lodra, pengkhianat yang licik, melihat
peluang untuk menyelamatkan dirinya. Ia menoleh ke belakang, melihat
mayat-mayat yang berserakan, darah yang membasahi tanah, dan wajah-wajah penuh
amarah yang mengejarnya. Tanpa ragu, ia berlari ke arah barat, berharap bisa
menembus kabut hutan dan kembali ke peradaban, meninggalkan kehancuran yang ia
timbulkan.
Namun Alas Sinang tidak pernah memaafkan pengkhianatan. Tanahnya yang lebat
dan pohon-pohonnya yang tua tampak hidup, seolah menunggu saat ini. Akar-akar
pohon raksasa tiba-tiba bangkit dari bumi, meliuk dan menjalar seperti ular
putih yang menunggu mangsanya. Jaka Lodra menendang dan meronta, mencoba
melepaskan kakinya dari lilitan akar, namun semakin ia meronta, semakin erat
lilitan itu menahan tubuhnya.
“Ampun, Gusti! Ampun, Ki Dusta! Jangan hukum aku!” teriak Jaka Lodra,
suaranya memecah hening malam yang dipenuhi dengungan amarah hutan. Ia
berlutut, menundukkan kepala, mencoba memohon belas kasihan dari kekuatan yang
jauh lebih besar daripada dirinya. Namun hutan tidak mengenal belas kasihan
bagi pengkhianat.
Akar-akar itu bekerja seperti tangan-tangan tak kasatmata, menarik Jaka
Lodra masuk ke tanah dengan perlahan namun pasti. Tanah bergetar di bawahnya,
daun-daun berjatuhan seolah meratapi nasibnya. Ia menjerit semakin keras,
suaranya bergema di antara pepohonan, menimbulkan gaung yang membuat pasukan di
sekitarnya menunduk dan gemetar. Angin malam membawa teriakannya menjauh, namun
suara itu akhirnya hilang ditelan tanah, meninggalkan hutan dalam kesunyian
yang menakutkan.
Ki Koang dan Ki Brangbang menatap peristiwa itu dengan campuran rasa kagum
dan ngeri. Mereka menyadari bahwa hutan ini bukan sekadar pepohonan dan sungai;
ia hidup, menanggapi pengkhianatan dan niat jahat dengan cara yang hanya bisa
dimengerti oleh mereka yang telah berhubungan dengan kekuatan kuno Alas Sinang.
Semangat dan keberanian manusia bisa menaklukkan musuh biasa, tetapi tidak
mungkin menghindari hukuman dari hutan yang dijaga oleh doa, pengorbanan, dan
kutukan Ki Dusta.
Sejak malam itu, cerita tentang pengkhianat yang ditelan akar menjadi
legenda yang tak terlupakan. Orang-orang yang berani memasuki Alas Sinang
sering menceritakan suara lirih yang terdengar dari tanah, bisikan samar yang
mengingatkan: pengkhianatan akan selalu dibalas oleh bumi sendiri. Sungai yang
tenang dan pepohonan tinggi menegaskan bahwa hutan ini adalah saksi dari
pengorbanan dan kesetiaan, sekaligus penegak keadilan yang tak terlihat.
Akar-akar pohon raksasa di Alas Sinang kini dianggap suci dan menakutkan
sekaligus. Penduduk desa percaya bahwa tanah tempat Jaka Lodra ditelan
menyimpan jasadnya, dan energi pengkhianatan itu tetap melekat di bumi,
mengingatkan setiap jiwa yang datang dengan niat buruk bahwa hutan ini hidup
dan penuh amarah. Tidak ada yang bisa melarikan diri dari keadilan hutan,
apalagi dari kutukan yang lahir dari kesetiaan dan pengorbanan.
Ki Koang dan Ki Brangbang melanjutkan pertempuran dengan keberanian yang
lebih besar. Mereka tahu bahwa energi hutan kini berpihak pada mereka,
menghentikan pengkhianatan, dan menaklukkan rasa takut musuh. Setiap ayunan
tombak dan pedang mereka semakin mantap, karena hutan memberikan perlindungan
dan kekuatan yang tak terlihat. Lumpur yang tadinya menakutkan kini menjadi
sekadar tanah yang ditempuh dengan yakin, dan setiap langkah mereka diiringi
oleh bisikan pelindung dari roh hutan.
Legenda “Akar Pembalasan Alas Sinang” pun lahir dari malam itu. Dari mulut
ke mulut, desa-desa menceritakan tentang pengkhianat yang ditelan tanah,
tentang bayangan putih Dyahrengganis dan Suta yang menjaga hutan, serta tentang
Ki Koang dan Ki Brangbang yang berani menghadapi kemarahan dan misteri Alas Sinang.
Anak-anak diajarkan untuk menghormati hutan, para prajurit belajar bahwa
keberanian tanpa kesetiaan tidak ada artinya, dan orang-orang yang hendak
melanggar kehormatan akan selalu menghadapi kekuatan yang lebih besar dari diri
mereka sendiri.
Hingga hari ini, penduduk masih percaya bahwa setiap akar di Alas Sinang
bisa bangkit, setiap tanah bisa bergerak, dan setiap pohon bisa menegakkan
keadilan bagi yang berkhianat. Kisah Jaka Lodra menjadi peringatan abadi: tidak
ada pengkhianatan yang luput dari hukuman, apalagi di hutan yang dipenuhi
amarah suci, cinta, dan kutukan.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com