Bagian 7. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Benturan di Alas Sinang: Perlawanan
Ki Dusta
Tak lama setelah pertemuan di balai pedukuhan, kabar penolakan Ki Dusta
sampai ke telinga keraton Cirebon. Sunan Gunung Jati, yang arif namun tegas
dalam mengatur wilayah, memandang sikap itu sebagai batu sandungan. Baginya,
dakwah Islam bukan hanya soal iman, tetapi juga tatanan politik yang harus
terjaga di pesisir. Bila satu pedukuhan menolak, pedukuhan lain bisa mengikuti.
Maka, dikirimlah utusan kedua, kali ini disertai pasukan bersenjata. Bukan
lagi sekadar pembawa dakwah, melainkan tanda peringatan: Cempaka Mulia harus
memilih, tunduk pada Cirebon atau menghadapi kekuatan.
Rakyat gelisah. Di balai bambu, mereka berkumpul mengelilingi Ki Dusta.
Wajah-wajah resah menatap gurunya. “Apa kita harus melawan Cirebon, guru?”
tanya Ki Brangbang dengan suara lantang. Ki Koang, yang gagah perkasa,
mengepalkan tangan. “Bila mereka datang dengan pedang, biarlah pedang pula yang
menyambut.”
Namun Ki Dusta terdiam lama. Matanya menatap pohon cempaka tua di kejauhan,
seakan mencari jawaban pada roh leluhur. “Anak-anakku,” katanya perlahan,
“perlawanan bukan sekadar menghunus senjata. Ini tentang menjaga martabat. Bila
mereka datang merampas keyakinan kita, maka tanah ini harus bicara.”
Malam itu, di bawah cahaya purnama, Ki Dusta memimpin ritual besar di hutan.
Kemenyan dibakar, mantra kuno dilantunkan, dan murid-murid duduk
mengelilinginya. Hutan seakan bergetar, angin berdesir membawa bisikan.
Orang-orang bersumpah mendengar suara Nyai Dyahrengganis ikut melantunkan doa,
meski ia berdiri jauh di tepi ladang dengan kendi air di tangan.
Keesokan harinya, pasukan Cirebon tiba di tepi dukuh. Mereka mengenakan ikat
kepala merah, membawa tombak dan panji-panji kerajaan. Pemimpin mereka berseru
lantang:
“Wahai Ki Dusta! Sultan menghendaki engkau berserah. Masuklah dalam naungan
Cirebon, maka keselamatan akan jadi milikmu. Menolak berarti melawan, dan
melawan berarti celaka!”
Ki Dusta maju ke depan, didampingi Ki Koang dan Ki Brangbang. Wajahnya
tenang, suaranya berat tapi jelas. “Aku menghormati Sultan dan Islamnya. Tapi
tanah ini punya ruh, leluhur kami masih hidup di sini. Bila kami dipaksa
meninggalkan kesanghyangan, berarti kami dipaksa meninggalkan jati diri.”
Tak ada lagi kata-kata setelah itu. Pasukan Cirebon menyerbu, dan benturan
pun terjadi. Suara teriakan bercampur dengan denting senjata. Ki Koang
mengayunkan golok besar, membabat tombak lawan. Ki Brangbang memimpin rakyat
dengan teriakan keras, membuat barisan bertahan di tepi sawah.
Ki Dusta sendiri tak banyak bergerak. Ia berdiri di batas hutan, mengangkat
tangan ke langit, melantunkan doa kuno. Tiba-tiba, angin kencang berhembus dari
arah pohon cempaka tua. Debu dan dedaunan berputar, membuat pasukan Cirebon
kehilangan arah. Sebagian kuda kocar-kacir, sebagian prajurit jatuh tersandung
akar yang seakan mencuat dari tanah.
“Ini tanah leluhur!” teriak rakyat Cempaka Mulia. “Tak ada yang bisa
merampasnya!”
Pertempuran berlangsung sengit, hingga akhirnya pasukan Cirebon mundur
sementara, terkejut oleh kekuatan yang tak kasatmata. Namun semua orang tahu,
itu bukan akhir. Kekuasaan sebesar Cirebon tak akan tinggal diam dikalahkan
oleh satu pedukuhan kecil.
Malam itu, rakyat merayakan kemenangan dengan hati waswas. Ki Dusta duduk
termenung di beranda rumah. Ki Koang dan Ki Brangbang mendekat.
“Guru, kita menang hari ini. Tapi besok?” tanya Brangbang.
Ki Dusta menatap langit. “Besok, badai lebih besar akan datang. Aku sudah
melihatnya dalam bisikan hutan. Aku bukan abadi, anak-anakku. Kelak, hanya nama
dan roh yang akan menjaga tanah ini.”
Orang-orang tua di Cempaka Mulia berkata, sejak malam itu, hutan Alas Sinang
mulai menyimpan bisikan. Setiap purnama, suara lirih terdengar—seperti ratapan,
seperti doa, atau mungkin peringatan. Rakyat percaya, itulah gema dari
perlawanan Ki Dusta dan murid-muridnya.
Dan begitulah, kisah itu hidup hingga kini. Tentang seorang guru yang
menolak tunduk, tentang murid-murid yang setia, dan tentang hutan yang
berbisik, mengingatkan bahwa tanah selalu punya roh, dan sejarah selalu
berdenyut dalam sunyi.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com