Legenda Alas Sinang Bagian 9: Cempaka Mulia dalam Konteks Sejarah Indramayu
Cempaka Mulia dalam Konteks Sejarah Indramayu
Meskipun catatan tertulis tentang Cempaka Mulia
relatif terbatas, keberadaannya dapat dipahami dengan menempatkannya dalam
konteks sejarah yang lebih luas mengenai perkembangan kawasan Indramayu dan
sekitarnya. Narasi besar sejarah Jawa bagian utara, khususnya pesisir
Cirebon–Indramayu, memberi petunjuk bagaimana sebuah pedukuhan kecil seperti
Cempaka Mulia terbentuk, berkembang, dan bertahan hingga kini.
Pada abad
ke-15 hingga 16 M, Cirebon berkembang sebagai salah satu pelabuhan
penting di pantai utara Jawa. Posisi strategisnya menjadikan Cirebon sebagai
simpul perdagangan internasional sekaligus pusat dakwah Islam. Gelombang
migrasi dari pesisir menuju pedalaman meningkat seiring berkembangnya aktivitas
ekonomi di pelabuhan. Dalam konteks inilah kawasan timur Sinang, tempat kelak
berdiri pedukuhan Cempaka Mulia, mendapat limpahan arus manusia. Para pendatang
ini datang dengan berbagai latar belakang: pedagang, petani, hingga pelarian
politik dari kerajaan-kerajaan yang sedang mengalami pergeseran kekuasaan.
Migrasi ini menjadi fondasi demografis yang membentuk awal komunitas Cempaka
Mulia.
Selanjutnya, pada abad ke-16 M, Cirebon secara resmi memisahkan diri dari
Pajajaran dan berdiri sebagai kerajaan Islam yang mandiri. Sejak saat itu,
wilayah Indramayu, yang sebelumnya merupakan daerah perbatasan dan percampuran
budaya Sunda-Jawa, masuk ke dalam kekuasaan Cirebon. Integrasi ini membuat
pedukuhan-pedukuhan kecil, termasuk Cempaka Mulia, terhubung lebih erat dengan
jaringan politik, ekonomi, dan keagamaan Cirebon. Dalam periode ini pula,
proses Islamisasi semakin kuat. Meski tidak ada catatan langsung mengenai
aktivitas keagamaan di Cempaka Mulia, kita dapat menduga bahwa para ulama
pengembara, pedagang muslim, maupun pejabat utusan Cirebon turut memengaruhi
kehidupan masyarakat setempat.
Memasuki abad ke-17 M, catatan VOC (Vereenigde Oostindische
Compagnie) mulai memberi gambaran tentang situasi pedalaman Indramayu. Arsip
Belanda menyebut adanya pemukiman kecil di wilayah pedalaman yang menjadi
sumber kayu, bahan pangan, dan tenaga kerja bagi kepentingan pelabuhan serta
benteng-benteng dagang di pesisir. Walaupun tidak secara eksplisit menyebut
nama Cempaka Mulia, deskripsi tentang pemukiman kecil di pedalaman yang
berfungsi mendukung kebutuhan ekonomi kolonial memungkinkan kita
menghubungkannya dengan wilayah sekitar pedukuhan ini. Apalagi, masyarakat
Cempaka Mulia dikenal memiliki tradisi kerja kolektif dalam pertanian dan
penebangan kayu, sebuah pola yang sesuai dengan gambaran VOC.
Konteks sejarah ini memperlihatkan bahwa
Cempaka Mulia, meski tampak sebagai pedukuhan kecil, tidak terlepas dari
dinamika besar kawasan Indramayu. Ia lahir dari pertemuan migrasi pesisir dan
pedalaman, bertahan melalui integrasi ke dalam jaringan kekuasaan Cirebon, dan
kemudian menghadapi penetrasi kolonial Belanda dengan segala tuntutan
ekonominya. Cerita lokal tentang tokoh pendiri, pohon cempaka putih keramat,
hingga tradisi sumpah setia masyarakat, pada akhirnya berpadu dengan
jejak-jejak sejarah regional yang lebih luas.
Dengan demikian, memahami Cempaka Mulia
berarti juga memahami bagaimana sebuah komunitas kecil mampu menyerap pengaruh
besar dari perkembangan politik, ekonomi, dan budaya di pesisir utara Jawa. Ia
bukan sekadar pedukuhan dengan folklor yang unik, melainkan bagian dari mosaik
sejarah Indramayu yang terus hidup dalam ingatan kolektif masyarakatnya.
Kontributor
Akang Marta
Indramayutradisi.com