Ads

Bagian 19. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis

 

Rasa Putus Asa: Tangis di Tengah Hutan Cempaka



Di kedalaman hutan Cempaka, di bawah kanopi pepohonan yang rimbun, terdengar isak tangis seorang putri. Dyahrengganis, putri tunggal Ki Dusta, duduk di antara akar-akar pohon besar, wajahnya basah oleh air mata. Setiap tetes yang jatuh seolah mencerminkan kepedihan seluruh pedukuhan yang baru saja luluh lantak. Api dari pertempuran terakhir masih tercium di udara, bercampur dengan aroma tanah basah dan daun yang hangus.

Dyahrengganis menunduk, suaranya lirih namun penuh kesedihan:
Andai aku tak lahir secantik ini, takkan ada perang. Semua ini karena aku…

Hati Ki Dusta pun tersayat mendengar perkataan itu. Ia menunduk, menatap putrinya dengan mata yang berkaca-kaca, namun penuh keteguhan. Dalam dongeng rakyat, momen ini selalu disebut sebagai saat ketika cahaya dan kegelapan bertemu dalam hati manusia: cahaya Dyahrengganis yang murni, dan kegelapan nafsu manusia serta ambisi bangsawan yang ingin merenggutnya.

Ki Dusta merangkul putrinya dengan tangan yang masih kuat meski tubuhnya lelah dan luka-luka dari pertempuran. Suaranya tegas namun menenangkan:
Jangan menyalahkan dirimu, anakku. Kau bukan sumber malapetaka, tapi cahaya. Justru karena cahaya itulah, kegelapan iri dan ingin merenggutmu.

Dyahrengganis menatap ayahnya dengan mata basah, namun mulai ada percikan ketenangan. Ia merasa bahwa bukan ia yang harus merasa bersalah, melainkan mereka yang ingin merebutnya demi kepentingan pribadi. Dalam folklor Indramayu, momen ini selalu digambarkan sebagai titik balik bagi Dyahrengganis: saat seorang putri sadar bahwa kecantikan dan kebaikan hatinya adalah kekuatan, bukan kelemahan.

Ki Dusta menghela napas panjang. Ia tahu pertarungan mereka belum selesai. Meskipun pedukuhan hancur dan rakyat tercerai-berai, kehormatan Cempaka Mulia masih berada di pundak mereka. Ia menatap hutan yang rimbun, menyadari bahwa kekuatan alami dan roh leluhur akan membantu mereka, namun tetap dibutuhkan keberanian dan kecerdikan manusia untuk bertahan.

Dalam legenda, kisah ini selalu dikaitkan dengan ajaran moral: bahwa rasa putus asa adalah musuh terbesar dalam peperangan. Jika Dyahrengganis menyerah pada kesedihan, musuh-musuhnya—baik yang lahir dari manusia maupun dari intrik nafsu—akan menang. Namun dengan ketenangan dan keyakinan, cahaya yang ia bawa akan mampu menembus kegelapan yang menyelimuti Cempaka Mulia.

Sementara itu, Suta Pradana, sang pemuda penggembala kerbau, mendekat. Meski hatinya juga bergetar karena takut kehilangan Dyahrengganis, ia mencoba menenangkan sang putri dengan kata-kata sederhana:
Dyah, jangan menangis. Kita masih punya harapan. Selama kita bersama, selama ada keberanian dan doa leluhur, mereka tidak akan mampu mengambilmu.

Dongeng rakyat menekankan bahwa peran Suta Pradana di momen ini lebih dari sekadar cinta muda. Ia menjadi simbol keberanian rakyat biasa yang berdiri teguh di sisi cahaya, membantu menjaga keseimbangan antara kebaikan dan ambisi jahat. Ia dan Dyahrengganis berdiri di hutan, di antara pohon-pohon cempaka yang harum dan berakar dalam, menyiapkan hati mereka untuk perjuangan berikutnya.

Ki Dusta kemudian mulai menata strategi. Ia menyadari bahwa kekalahan sementara bukan akhir dari cerita. Ia menuntun Dyahrengganis dan Suta Pradana menembus jalur rahasia, jauh dari mata musuh. Dalam folklor lisan, diceritakan bahwa hutan ini pun berbisik lirih: “Jangan takut, anak leluhur. Cahaya dan keberanianmu akan menuntun langkahmu kembali ke tanah airmu.” Suara-suara ini membuat Dyahrengganis merasa lega, bahwa ia bukan sendirian; leluhur dan alam berada di pihaknya.

Kisah rasa putus asa ini menjadi pengingat bagi seluruh rakyat Cempaka Mulia: bahwa bahkan di saat tergelap, masih ada cahaya yang menunggu untuk kembali bersinar. Dalam dongeng rakyat, Dyahrengganis sering disebut sebagai “Bunga Dukuh yang Menangis”, simbol keteguhan hati, kesucian niat, dan keberanian yang lahir dari cinta dan kasih sayang.

Hari itu, meski air mata tumpah, mereka menyiapkan diri untuk bangkit. Ki Dusta mengajarkan kepada putrinya dan Suta Pradana bahwa kehormatan dan cinta tidak boleh dijual oleh ketakutan. Dengan pepatah leluhur yang sering diulang dalam Carita Indramayu:
Cahaya yang diselimuti kegelapan bukan musnah; ia menunggu saat untuk menembus gelap dan menyinari bumi.

Legenda “Rasa Putus Asa: Tangis di Tengah Hutan Cempaka” selalu menjadi cerita yang diwariskan dari generasi ke generasi, sebagai pengingat bahwa kekalahan sementara dan tangis bukan akhir dari segalanya. Mereka adalah awal dari keberanian yang lebih besar, pengorbanan yang lebih mulia, dan cinta yang tak bisa direbut oleh ambisi duniawi.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel