Bagian 4. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Nyai Dyahrengganis: Kembang
Dukuh Cempaka Mulia
Di tengah perjalanan hidup Ki Dusta sebagai pemimpin pedukuhan, ada sosok
lain yang tak kalah penting dalam legenda Cempaka Mulia: Nyai Dyahrengganis, putri
tunggalnya. Ia mewarisi kecantikan ibunya, yang konon berasal dari keluarga
bangsawan Sunda. Dari ibunya pula ia mendapatkan pembawaan yang anggun, wajah
berkulit kuning langsat, mata bening laksana air sungai, serta senyum yang
meneduhkan hati siapa pun yang melihat.
Namun, kecantikan Nyai Dyahrengganis tidak hanya tampak pada rupa luar. Ia
tumbuh dengan budi pekerti halus, sopan dalam tutur kata, dan memiliki
kepedulian besar terhadap sesama. Warga kerap menceritakan bagaimana ia tak
segan membantu ibu-ibu desa menumbuk padi, atau menjenguk tetangga yang sakit
sambil membawa ramuan sederhana. Selain itu, Dyahrengganis piawai menenun kain
lurik. Hasil tenunannya menjadi kebanggaan, karena setiap helai benang terasa
membawa doa untuk kesejahteraan desa.
Dalam dongeng rakyat yang diwariskan turun-temurun, ia sering disebut
sebagai “kembang dukuh”—bunga
pedukuhan yang mekar di antara rakyat sederhana. Julukan ini bukan hanya karena
kecantikannya, melainkan juga karena kehadirannya selalu membawa kesejukan.
Tidak mengherankan bila banyak pemuda dari desa-desa sekitar datang dengan niat
meminangnya. Mereka membawa buah tangan, memohon restu kepada Ki Dusta, dan
berharap dapat memperistri Dyahrengganis.
Namun, Ki Dusta bukanlah pemimpin yang gegabah. Ia menyadari betul bahwa
kecantikan putrinya bisa menjadi sumber perebutan. Persaingan antar pemuda,
bahkan antar desa, dapat menimbulkan kerusuhan yang mengganggu kedamaian. Maka,
setiap lamaran dari luar pedukuhan selalu dijawabnya dengan halus: “Dyahrengganis
belum siap menikah.” Alasan sederhana itu diulang berkali-kali, hingga para
pelamar memilih pulang dengan hati berat, meski tetap menyimpan kagum.
Walaupun belum bersuami, rakyat Cempaka Mulia melihat Dyahrengganis sebagai simbol kesuburan dan keberuntungan.
Mereka percaya bahwa kehadirannya memberi berkah bagi sawah dan ladang. Konon,
bila ia turun ke sawah saat musim tanam, tanaman padi akan tumbuh subur dan
panen menjadi melimpah. Karena keyakinan itu, para petani selalu memohon agar
Dyahrengganis berkenan ikut dalam upacara awal musim tanam.
Pada hari yang ditentukan, Dyahrengganis berjalan menuju sawah dengan
membawa kendi berisi air jernih dari rumahnya. Di tengah ladang, ia menuangkan
dan memercikkan air itu ke bibit padi yang baru ditanam. Sambil melakukannya,
ia tersenyum lembut, seakan menitipkan doa agar tanah memberi hasil terbaik.
Warga yang menyaksikan merasa hati mereka tenteram, yakin bahwa dengan
kehadiran sang putri, rezeki akan berlimpah.
Bagi masyarakat, Dyahrengganis bukan hanya anak Ki Dusta. Ia adalah lambang
kecantikan, kesuburan, dan keberkahan. Kehadirannya memperkuat ikatan spiritual
pedukuhan Cempaka Mulia dengan alam sekitarnya. Sampai kini, kisah tentang kembang dukuh yang menebar doa di sawah
tetap hidup, diceritakan kembali oleh generasi demi generasi, seakan Nyai
Dyahrengganis tidak pernah benar-benar hilang dari bumi tempat ia dilahirkan.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com