Bagian 18. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Kekalahan Sementara: Api, Air Mata,
dan Pengkhianatan
Hari itu, matahari baru saja meninggi ketika dukuh Cempaka Mulia menghadapi
cobaan terberatnya. Meski rakyat dan murid-murid Ki Dusta telah berjuang sekuat
tenaga, pedukuhan yang damai kini berubah menjadi medan kehancuran. Asap hitam
mengepul dari rumah-rumah bambu yang terbakar, sementara jeritan perempuan dan
anak-anak mengiris hati setiap yang mendengar. Pepohonan Cempaka yang dulu
meneduhkan kini tampak seakan ikut menyesali derita yang menimpa tanah leluhur
mereka.
Ki Koang, sang pengawal gagah, terluka parah di bahu.
Pedangnya yang biasanya menebas lawan dengan mudah kini terhenti oleh rasa
sakit yang menembus tulangnya. Sedangkan Ki Brangbang, dengan
tubuh kecil namun penuh semangat, jatuh pingsan karena tombak prajurit Cirebon
menembus pahanya. Rakyat, meski kalah jumlah dan tak berpengalaman dalam
peperangan sesungguhnya, tetap bertahan dengan keberanian luar biasa. Namun
kekuatan mereka tidak cukup menghadapi pasukan yang terlatih, bersenjata
lengkap, dan dikendalikan intrik Pangeran Cakranegara dari kejauhan.
Di tengah kekacauan, Ki Dusta tetap menjadi cahaya penuntun.
Ia tidak kehilangan kewaspadaan meski hati terasa pedih melihat tanah dan
rakyat yang dicintainya hancur. Dengan suara lantang namun tenang, ia memanggil
putrinya: “Dyahrengganis, ayo, ikut ayah! Jangan biarkan mereka
menjadikanmu alat nafsu bangsawan.”
Dyahrengganis, dengan kendi suci di tangan, mengikuti ayahnya sambil menatap
sekeliling. Matanya berlinang air mata, melihat rumah-rumah yang dirusak,
tetapi tekadnya tak goyah. Suta Pradana, sang pemuda
penggembala kerbau yang menjadi kekasih hati Dyahrengganis, ikut menyusul tanpa
ragu. Ia tahu, cinta mereka kini diuji tidak hanya oleh jarak dan waktu, tetapi
oleh darah dan api peperangan.
Namun malapetaka belum selesai. Dari sisi lain, Jaka Lodra,
murid kecil Ki Dusta yang haus akan harta dan kedudukan, muncul dengan senyum
licik. Ia memandu prajurit Cirebon melalui jalur rahasia lain, mengancam
keselamatan mereka yang melarikan diri. Kisah rakyat menceritakan bahwa saat
itu tanah Cempaka Mulia seperti bergetar, bukan hanya karena langkah kaki prajurit,
tetapi karena kemarahan leluhur yang menyaksikan pengkhianatan itu.
Rakyat yang selamat menatap Jaka Lodra dengan kebencian mendalam. Mereka
meludahi tanah di hadapannya, mengutuk setiap langkahnya, dan bersumpah bahwa
namanya akan menjadi tanda buruk. Legenda menyebutkan bahwa sejak hari itu, di
desa-desa Indramayu, nama “Lodra” dipandang sebagai nama yang
membawa malapetaka dan pengkhianatan. Setiap orang tua selalu memperingatkan
anak-anak mereka agar menjauhi nama itu, sebagai pengingat akan pengkhianatan
yang menghancurkan pedukuhan mereka.
Di hutan, Ki Dusta, Dyahrengganis, dan Suta Pradana menembus pepohonan
lebat. Pohon cempaka yang harum seakan memberi perlindungan dan menutupi jejak
mereka dari mata-mata Cirebon. Dalam legenda, dikisahkan bahwa hutan itu
bersuara lirih, seolah berbisik pada setiap pengkhianat bahwa tanah ini dijaga
oleh roh leluhur dan tidak akan mudah ditaklukkan.
Meski kalah untuk sementara, semangat rakyat tidak padam. Dalam dongeng
lisan, digambarkan bahwa mereka berkumpul di tempat tersembunyi, merencanakan
cara untuk kembali membela tanahnya. Anak-anak belajar dari keberanian Ki Koang
dan Ki Brangbang, dan generasi muda di pedukuhan menyadari bahwa kekalahan
hanyalah sementara bila keberanian dan kesetiaan tetap dijaga.
Ki Dusta, meski terluka dan kehilangan sebagian rakyatnya,
tetap mengajarkan satu pelajaran penting: “Kita kalah hari ini, tetapi
tanah ini adalah darah kita. Selama ada keberanian dan cinta, Cempaka Mulia
akan hidup kembali.” Kata-kata ini menjadi mantra yang diwariskan
secara lisan, menguatkan semangat rakyat yang tersebar.
Legenda “Kekalahan Sementara” tidak hanya menceritakan
bencana fisik dan pengkhianatan, tetapi juga menanamkan makna lebih dalam: bahwa
keberanian, cinta, dan kesetiaan kepada tanah leluhur mampu bertahan meski
dunia runtuh di sekeliling kita. Api dan air mata bukanlah akhir dari
cerita; ia adalah pengingat bahwa perlawanan akan selalu muncul kembali, lebih
kuat dan lebih bijaksana dari sebelumnya.
Dalam versi Carita Jaya Indramayu, kisah ini selalu diceritakan di malam
bulan purnama, saat warga duduk di tepi sungai atau di bawah pohon cempaka.
Mereka mengingat pengorbanan Ki Koang, keberanian Ki Brangbang, keteguhan Ki
Dusta, dan kesetiaan Suta Pradana dan Dyahrengganis. Bahkan pengkhianatan Jaka
Lodra tetap menjadi pelajaran bahwa pengkhianatan menghancurkan bukan hanya
tubuh, tetapi juga hati dan nama baik.
Sejak hari itu, nama “Kekalahan Sementara” melekat pada peristiwa itu,
sebagai pengingat bahwa pedukuhan yang jatuh hari ini bisa bangkit esok, selama
rakyatnya tetap memelihara keberanian, cinta, dan doa leluhur yang tak pernah
mati.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com