Bagian 6. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Pertemuan Dua Jalan: Ki
Dusta dan Utusan Cirebon
Di tengah kejayaan pedukuhan Cempaka Mulia, angin sejarah membawa kabar dari
barat. Pada pertengahan abad ke-15, Kesultanan Cirebon mulai tumbuh di bawah
kepemimpinan Pangeran Cakrabuana, yang kelak dilanjutkan oleh Sunan Gunung
Jati. Dari keraton Pakungwati, ajaran Islam menyebar bersama denyut politik
pesisir, menembus hutan, sungai, dan ladang. Tak terkecuali, tanah Cempaka
Mulia yang berada di ujung timur Indramayu.
Kabar tentang Ki Dusta—seorang pemimpin kharismatik, bijaksana, dan disegani
rakyat—sampai ke telinga keraton. Para utusan pun dikirim, membawa pesan
persaudaraan: ajakan untuk menerima Islam, sekaligus mengikat Cempaka Mulia
dalam jaringan kekuasaan Cirebon.
Rombongan itu datang dengan pakaian serba putih, disertai kitab suci dan
tanda kebesaran sultan. Mereka berjalan melewati jalan setapak, hingga sampai
ke balai pertemuan pedukuhan. Rakyat berkerumun ingin melihat. Ki Dusta, dengan
sorot mata teduhnya, menyambut mereka ramah. Ia mempersilakan duduk, memberi
jamuan nasi liwet, serta mendengar dengan saksama nasihat tentang tauhid dan
syariat.
“Islam,” kata seorang utusan, “adalah jalan keselamatan. Dengan Islam,
manusia mengenal Tuhan yang Esa dan hidup dalam tatanan yang lurus. Dan dengan
Cirebon, pedukuhanmu akan aman, terlindung dari ancaman luar.”
Ki Dusta mengangguk pelan. Ia menghormati agama baru itu, bahkan telah lama
membiarkan para pedagang Muslim berdagang di pasar dukuh. Ia melihat kebaikan
pada ajaran salat dan zakat, serta mengakui akhlak mulia yang diajarkan para
wali. Namun, hatinya tak bisa begitu saja melepaskan kesanghyangan—ajaran yang
diwariskan leluhur sejak masa silam.
“Roh nenek moyang masih menjaga tanah ini,” jawabnya tenang. “Mereka hadir
di pohon, di sungai, di ladang. Bagaimana aku bisa meninggalkan warisan mereka?
Kesanghyangan bukan sekadar keyakinan, tapi napas yang mengikat kami dengan
bumi.”
Utusan terdiam, lalu mengingatkan: “Namun, tanpa ikatan dengan Cirebon,
pedukuhanmu akan sendirian. Ingatlah, banyak mata memandang ke pesisir ini.”
Kalimat itu menyiratkan lebih dari sekadar dakwah. Ada politik yang bekerja
di balik ajakan itu. Bagi Cirebon, penolakan Ki Dusta berarti sikap menahan
diri dari arus besar kekuasaan. Dan dalam pandangan istana, itu bisa menjadi
ancaman.
Sementara bagi Ki Dusta, mempertahankan kesanghyangan bukan hanya soal
ritual, melainkan menjaga jati diri Cempaka Mulia. Ia tak ingin rakyatnya
kehilangan akar. Baginya, tunduk sepenuhnya berarti menyerahkan kemandirian
dukuh kepada kuasa luar.
Sejak pertemuan itu, benih konflik pun tertanam. Di satu sisi, Cirebon yang
semakin kuat, ingin memantapkan pengaruhnya di pesisir timur. Di sisi lain,
Cempaka Mulia, sebuah pedukuhan kecil yang setia pada warisan leluhur, berdiri
dengan kepala tegak.
Orang-orang tua berkata, sejak hari itu hutan Cempaka Mulia mulai sering
berbisik ketika bulan purnama. Seakan tanah itu menyimpan ketegangan: antara
jalan baru yang datang dari barat, dan jalan lama yang telah berakar dalam
bumi.
Dan begitulah, kisah tentang Ki Dusta dan utusan Cirebon selalu dikenang.
Sebuah pertemuan dua jalan, yang tak hanya bicara soal keyakinan, tetapi juga
tentang siapa yang berdaulat di tanah pesisir.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com