Bagian 34. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Hilangnya Ki Dusta: Ki Dusta,
Penjaga Sungai Alas Sinang
Seusai mengucapkan sumpah terakhir di tepi sungai, Ki Dusta berdiri tegak,
tubuhnya lelah namun matanya tetap tajam menatap arus yang kini tenang. Sungai
itu, yang sebelumnya bergolak dan dipenuhi amarah, kini menampilkan permukaan
bening yang memantulkan cahaya bulan. Hanya terdengar suara gemerisik air dan
hembusan angin yang menembus pepohonan. Sungai itu tampak seperti pintu menuju
dunia lain, tempat di mana hukum alam dan gaib bertemu.
Ki Dusta menghela napas panjang, menatap setiap riak kecil di permukaan air,
seakan membaca pesan dari hutan dan sungai itu sendiri. Tubuhnya bergetar,
bukan karena takut, tetapi karena kesadaran bahwa perjalanan terakhirnya kini
harus dilakukan—perjalanan menuju penyatuan dengan Alas Sinang, hutan yang
telah menjadi saksi cinta, pengorbanan, dan kutukan yang ia ciptakan.
Dengan langkah perlahan namun mantap, Ki Dusta mendekat ke tepian sungai.
Setiap daun yang gugur, setiap ranting yang bergoyang, tampak seakan memberi
hormat terakhir kepadanya. Udara malam terasa berat, namun sekaligus sarat akan
kesucian. Burung-burung malam berhenti berkicau, dan hanya terdengar suara
aliran sungai yang mengalir lembut. Alam seolah menahan napas, menunggu
detik-detik yang akan mengubah Ki Dusta dari manusia menjadi legenda hidup.
Ki Dusta menundukkan kepala, menutup mata, dan mengangkat tangannya ke
langit sejenak. Ia melantunkan doa lirih, bukan hanya untuk dirinya, tetapi
untuk semua jiwa yang gugur dalam pertempuran, untuk murid-muridnya yang setia,
dan untuk Dyahrengganis serta Suta Pradana yang telah menjadi bagian dari
legenda Alas Sinang. Kata-katanya menembus malam, diresapi oleh kekuatan gaib
yang tersembunyi di sungai, tanah, dan hutan.
Kemudian, perlahan, ia melangkah ke dalam air. Setiap langkahnya menyebabkan
riak kecil, namun semakin jauh ia masuk, air itu tampak menyerap tubuhnya.
Anehnya, tubuh Ki Dusta tidak muncul kembali ke permukaan. Air sungai tetap
tenang, bening, dan murni, seolah menelan sosoknya tanpa meninggalkan jejak.
Pepohonan di tepi sungai menunduk, dedaunan bergetar pelan, dan kabut malam
bergerak mengelilingi tempat itu, menambah kesan mistis dan sakral.
Sejak malam itu, warga desa yang tinggal di sekitar Alas Sinang percaya
bahwa Ki Dusta tidak benar-benar mati. Ia telah berubah menjadi roh penjaga,
pelindung hutan, sungai, dan setiap jiwa yang menghormati hutan. Cerita itu
menyebar dari mulut ke mulut, menjadi peringatan dan pelajaran bagi generasi
berikutnya: bahwa keberanian, pengorbanan, dan kesetiaan memiliki kekuatan yang
mampu melampaui batas manusia.
Mereka menceritakan, bahwa siapa pun yang mencoba menyusup ke Alas Sinang
dengan niat jahat akan merasakan hawa yang dingin, tanah yang menjerat kaki,
dan bisikan lembut yang memanggil dari sungai. Beberapa yang berani menceritakan
bahwa di malam berkabut, sosok Ki Dusta terlihat di permukaan air, mengenakan
jubah putih yang bercahaya lembut, berdiri dengan tatapan yang menembus jiwa,
seakan mengingatkan akan keadilan hutan.
Orang-orang juga percaya, bahwa jika seseorang datang dengan niat baik,
misalnya untuk merawat hutan atau menjaga pedukuhan, air sungai akan
memantulkan cahaya lembut, daun-daun akan bergetar seolah menyambut, dan
bayangan Ki Dusta muncul samar sebagai pengawas yang ramah. Kisah ini menjadi
bagian dari folklore Alas Sinang, memperkuat keyakinan bahwa hutan itu hidup,
memiliki roh, dan tak boleh diabaikan begitu saja.
Selain itu, legenda Ki Dusta mengajarkan nilai penting tentang kesetiaan dan
pengorbanan. Murid-muridnya yang gugur, darah yang tumpah di tanah Alas Sinang,
dan sumpahnya sendiri telah menjadi energi yang menyatukan alam dan manusia.
Sungai yang tenang namun penuh misteri itu menjadi saksi bisu dari semua
peristiwa: pertempuran, pengorbanan, dan cinta yang tak tergoyahkan.
Di setiap malam, saat bulan purnama menggantung, warga desa yang tinggal
jauh dari hutan terkadang mendengar suara lembut air yang mengalir dan bisikan
yang samar. Mereka percaya itu adalah Ki Dusta, mengawasi, menjaga, dan
memastikan bahwa hutan Alas Sinang tetap suci, penuh keadilan, dan tetap
menjadi tempat sakral bagi semua yang menghormatinya.
Kini, Alas Sinang bukan sekadar hutan biasa. Sungai yang jernih, pepohonan
yang tinggi, dan tanah yang basah oleh sejarah telah dipenuhi energi gaib. Ki
Dusta, sebagai roh penjaga, menjadi simbol kekuatan yang lahir dari cinta,
pengorbanan, dan kesetiaan. Legenda ini tetap hidup dalam setiap cerita yang
diceritakan, dalam setiap bisikan angin malam, dan dalam setiap riak sungai
yang mengalir, mengingatkan manusia bahwa hutan ini bukan tempat biasa, tetapi
rumah bagi roh yang menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan dunia gaib.
Sejak saat itu, setiap orang yang memasuki Alas Sinang selalu berhati-hati.
Mereka menundukkan kepala, menghormati hutan, dan berbisik pelan, “Ki Dusta, pelindung
Alas Sinang, kami datang dengan niat baik.” Dan sungai pun beriak lembut,
pepohonan menunduk, seakan menyambut kedatangan mereka, menegaskan bahwa roh Ki
Dusta kini abadi, menjaga hutan, sungai, dan setiap rahasia Alas Sinang.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com