Ads

Bagian 30. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis

 

Ritual Ki Dusta: Kebangkitan Roh Alas Sinang



Di tepi Sungai Alas Sinang, malam itu terasa abadi. Kabut tebal menyelimuti pepohonan, dan aroma tanah basah bercampur dengan abu putih yang menempel di tubuh Ki Dusta. Tubuhnya yang lemah dan penuh luka tampak rapuh, namun matanya menyala dengan tekad yang menggetarkan jiwa. Rambutnya terurai, bercampur abu, seakan ikut menari mengikuti desiran angin malam yang membawa aroma kesedihan dan dendam. Di belakangnya, Ki Koang dan Ki Brangbang berdiri tegak, meski tubuh mereka penuh luka dan kelelahan, tetap setia menemani guru mereka.

Ki Dusta menatap permukaan Sungai Alas Sinang, air yang telah menelan putrinya, Dyahrengganis, dan muridnya, Suta Pradana. Sungai yang biasanya beriak tenang kini gelap, bergolak pelan, seolah menyimpan rahasia besar yang tak siap diungkapkan oleh dunia manusia. Perlahan, ia menarik napas dalam-dalam dan mulai melantunkan doa kutukan, suaranya bergema di hutan, mengalir melalui celah-celah pepohonan, bergabung dengan bisikan dedaunan. Bahasa yang ia gunakan adalah Kesanghyangan, bahasa kuno yang hanya dimengerti oleh mereka yang peka terhadap kekuatan alam dan roh leluhur.

“Wahai roh bumi, wahai naga sungai, wahai penjaga pepohonan, dengarlah ratapku!” Suaranya pecah, tegas dan penuh amarah. “Putriku direnggut nafsu manusia tamak, muridku tewas demi cinta. Bila kalian masih ada, bangkitlah! Jadikan Alas Sinang kuburan bagi orang-orang serakah. Siapa pun yang datang dengan niat buruk, biarlah hutan ini menelan tubuh dan jiwanya!”

Setiap kata yang keluar terasa berat, memuat seluruh kesedihan dan kemarahan seorang ayah yang patah hati. Angin tiba-tiba bertiup kencang, membawa serpihan daun yang beterbangan. Pohon-pohon berguncang, cabang-cabangnya berderak keras. Langit mendung, awan gelap menutupi bulan, dan petir menyambar, memecah gelapnya malam. Kilatan cahaya menyorot wajah Ki Dusta yang tegar namun penuh duka, menegaskan bahwa seorang ayah yang patah hati bisa memanggil kekuatan alam.

Ki Dusta menorehkan sedikit darah dari lengannya dengan pisau pusaka, meneteskan darah itu ke sungai. Setiap tetes menimbulkan percikan cahaya merah, bercampur dengan riak air yang bergolak, seolah menari mengikuti mantra dan kutukan yang baru lahir. Sungai mulai mendidih perlahan, uap panas naik membentuk kabut tipis, menambah aura mistis yang menakutkan.

Ki Koang dan Ki Brangbang menatap guru mereka dengan campuran kagum dan takut. Mereka merasakan energi yang berbeda dari biasanya, energi yang lahir dari cinta, pengorbanan, dan amarah yang murni. Setiap kata Ki Dusta memanggil roh leluhur, naga sungai, penjaga pepohonan, dan kekuatan gaib yang telah lama tertidur di Alas Sinang. Hutan seakan hidup sendiri; dedaunan bergoyang, binatang hutan berlari ketakutan, dan suara seribu bisikan terdengar bersamaan, menguatkan ritual yang sedang berlangsung.

Tiba-tiba, air sungai beriak lebih keras, membentuk pusaran cahaya. Dari dalam pusaran itu muncul sosok samar—bayangan Dyahrengganis dan Suta Pradana. Mereka tampak menari di atas air, tubuhnya bersinar lembut seperti cahaya bulan, mata mereka penuh cinta namun sedih. Ki Dusta menatap mereka, dan hatinya terasa nyeri sekaligus damai. “Anakku… Suta… aku melihat kalian,” gumamnya lirih. Suara hutan seakan membisikkan, bahwa roh mereka kini menyatu dengan alam, menjadi penjaga Alas Sinang, saksi kekuatan cinta dan pengorbanan.

Ki Dusta berdiri perlahan, aura kutukan mengelilinginya. Petir menyambar lagi, lebih dekat, membelah langit dengan kilatan yang menakutkan. Angin menjadi lebih kencang, membawa aroma hujan dan tanah basah. Pohon-pohon tinggi menekuk, membentuk gerbang alami yang seolah ingin menyembunyikan sungai dan hutan dari niat jahat manusia. Setiap langkah manusia yang mendekat akan merasakan arus energi gaib yang menghalangi mereka.

“Biarlah arus sungai membawa mereka yang jahat ke dasar!” seru Ki Dusta. “Biarlah pepohonan menjerat kaki mereka, binatang hutan mengusir mereka, dan angin membisikkan ketakutan ke dalam hati mereka yang tidak bersih!”

Dari dalam hutan, suara gemuruh semakin keras. Tanah bergetar, batu-batu kecil pecah, dan kabut tebal menyelimuti seluruh permukaan sungai. Burung-burung yang semula terdiam kini menukik dari pepohonan, memekik dengan suara yang menyeramkan, menambah suasana mistis yang menegangkan. Alam seakan bersatu dengan Ki Dusta, mendukung kutukan yang lahir dari cinta dan ratapan seorang ayah.

Roh sungai semakin jelas muncul, berupa naga bercahaya yang berputar di atas arus. Tubuhnya panjang, sisiknya berkilau biru keperakan, dan matanya menatap setiap sudut hutan. Roh naga itu menyalurkan energi alam, menambah kekuatan kutukan Ki Dusta. Di sampingnya, bayangan Dyahrengganis dan Suta menyatu dengan pusaran air, seolah menjadi jiwa pelindung yang siap menegur siapa pun yang mencoba mencemari hutan.

Ki Dusta meneteskan lebih banyak darahnya, suaranya bergema dengan mantra yang semakin keras. Setiap kata menembus bumi, air, dan angin, menciptakan resonansi magis yang membuat seluruh hutan bergetar. Tanah retak di beberapa titik, pohon-pohon berderak keras, dan kabut menyelimuti seluruh sungai dengan cahaya merah dan perak yang menakutkan.

Ki Koang dan Ki Brangbang menunduk, merasakan energi yang mengalir ke seluruh tubuh mereka. Mereka menyadari bahwa ritual ini bukan hanya tentang kutukan, tetapi juga transformasi hutan dan sungai. Alas Sinang kini bukan sekadar tempat biasa; ia menjadi sakral, hidup, dan dijaga oleh roh-roh yang lahir dari pengorbanan, cinta, dan amarah murni.

Petir terakhir menyambar, membelah awan, menyorot wajah Ki Dusta yang kini lelah namun tegar. Air sungai beriak lebih keras, cahaya merah bercampur perak menari di permukaannya. Bayangan Dyahrengganis dan Suta menunduk hormat pada ayah mereka, sementara roh naga sungai mengamati setiap sudut hutan. Semua makhluk, dari manusia hingga binatang hutan, merasakan aura sakral yang lahir dari cinta dan pengorbanan yang abadi.

Dari malam itu, legenda Alas Sinang menyebar ke desa-desa sekitar. Cerita tentang ritual Ki Dusta, darah yang menjadi tumbal, roh sungai yang bangkit, dan kutukan yang menjadikan hutan serta sungai sebagai penjaga abadi, diwariskan dari generasi ke generasi. Hutan dan sungai menjadi saksi kekuatan cinta, pengorbanan, dan keberanian yang mampu menembus batas hidup dan mati.

Alas Sinang kini menjadi tempat sakral. Siapa pun yang memasuki hutan dengan niat buruk akan tersesat, dihantui oleh bisikan angin, riak air yang menakutkan, dan bayangan roh penjaga yang muncul dari kabut. Kutukan Ki Dusta telah menjadikan hutan hidup, menjadi pelindung abadi bagi Dyahrengganis, Suta, dan semua yang menghormati hukum alam.

Ki Dusta, meski lemah, telah mengubah duka menjadi kekuatan sakral. Darahnya, ratapannya, dan doanya telah memanggil alam, roh leluhur, dan roh sungai untuk menjaga Alas Sinang selamanya. Bayangan Dyahrengganis dan Suta menari di permukaan air, menjadi simbol cinta dan pengorbanan, sementara roh naga sungai menjaga setiap arus dan pusaran, menegaskan bahwa kekuatan alam tidak bisa diganggu oleh manusia serakah.

Malam itu menutup dengan sunyi yang berbeda: bukan hening biasa, tetapi sunyi sakral yang dipenuhi energi magis, cinta, dan kesedihan yang tak terucapkan. Riak air, bisikan angin, dan derak pohon menjadi pengingat bahwa Alas Sinang telah menjadi legenda hidup—tempat di mana cinta dan kehormatan mampu memanggil kekuatan yang lebih besar daripada dunia manusia.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel