Bagian 22. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Mimpi Merah di Alas Sinang: Pertanda Malapetaka
Malam
kedua di hutan Alas Sinang terasa lebih sunyi daripada malam sebelumnya. Cahaya
kunang-kunang berkelip di sela pepohonan, menebar bayangan yang menari di tanah
lembab. Angin berhembus lirih, membawa aroma tanah basah dan daun yang gugur.
Di gubuk kecil yang berdiri di pinggir sungai, Dyahrengganis tidur sambil
memeluk lututnya, namun matanya tak tenang.
Malam itu,
mimpi datang menghampirinya dengan cara yang menakutkan. Dalam tidurnya, ia
melihat sungai di Alas Sinang meluap, airnya bergemuruh deras dan menelan
rumah-rumah bambu yang mereka tinggali. Bunyi ranting patah dan jeritan manusia
memenuhi udara mimpi itu, sementara pepohonan tercabut dari tanahnya. Tapi yang
paling membuatnya terguncang adalah perubahan air sungai menjadi merah pekat,
seperti darah yang menutupi seluruh tanah.
Di tengah
darah itu, Dyahrengganis melihat wajah Suta Pradana, pemuda yang dicintainya,
perlahan tenggelam ke dalam arus merah. Ia merasakan takut yang dalam, seakan
mimpi itu adalah pertanda bahwa musibah besar akan menimpa mereka. Tubuhnya
terhuyung, tangannya gemetar, dan ia menjerit kecil. Suara itu terdengar oleh Ki
Dusta, yang segera terbangun dan berlari menuju putrinya.
“Ibu, aku
melihat malapetaka,” kata Dyahrengganis dengan suara bergetar. “Semua karena
aku… sungai membawa darah, dan Suta hilang di dalamnya.”
Ibunya
memegang pundaknya, mencoba menenangkan. Tapi wajah Dyahrengganis penuh
kecemasan, dan Ki Dusta sendiri menelan rasa gelisah yang tak bisa diucapkan.
Leluhur mereka selalu memberi pertanda melalui mimpi, dan Ki Dusta tahu mimpi
ini bukan sekadar bunga tidur. Di lubuk hatinya, ia merasakan ada peringatan dari
alam gaib.
Ia duduk
di samping putrinya, memegang tangannya erat-erat. “Anakku,” katanya pelan,
“jangan biarkan mimpi menakutimu. Tetapi dengarlah baik-baik. Dunia ini selalu
menaruh ujian bagi mereka yang membawa cahaya. Kau bukan sumber bencana, tapi cahaya
itu yang membuat kegelapan iri dan ingin merenggutmu.”
Dyahrengganis
menundukkan kepala, air matanya jatuh di tangan ayahnya. Ia tahu, mimpi itu
tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam tradisi kesanghyangan, mimpi adalah
pesan roh leluhur, peringatan agar manusia bersiap menghadapi musibah. Ki Dusta
mengajak putrinya membaca mantra perlindungan, membakar kemenyan, dan menabur
bunga tujuh rupa di depan gubuk. Setiap langkah dilakukan dengan hati-hati,
agar roh penunggu hutan tidak marah dan membawa bencana nyata.
Sementara
itu, Suta Pradana duduk di luar gubuk, menatap sungai yang berkilauan diterpa
cahaya bulan. Ia merasakan ketegangan yang sama. Dalam cerita rakyat yang
diwariskan lisan, dikisahkan bahwa pemuda itu selalu hadir di sisi
Dyahrengganis ketika mimpi buruk menghampiri. Ia memegang tangan gadis itu dan
berbisik:
“Dyah,
jangan takut. Bila angin dan hujan menakutkan, aku akan tetap di sini. Walau
mimpi buruk datang, kita akan hadapi bersama. Alam boleh memberi peringatan,
tapi kita punya keberanian untuk bertahan.”
Dyahrengganis
menoleh, mata mereka bertemu di bawah sinar bulan purnama. Meski wajahnya masih
pucat karena ketakutan, ada sedikit ketenangan yang muncul. Mereka berdua
memahami bahwa malam ini hanyalah bagian dari ujian yang lebih besar. Folklor
Indramayu menekankan bahwa momen seperti ini adalah titik awal persiapan jiwa:
sebelum menghadapi serangan musuh, roh dan hati harus kuat terlebih dahulu.
Di sisi
lain, Ki Dusta merasakan getaran di hutan. Angin membawa bisik-bisik daun,
seolah menyampaikan kabar dari roh penunggu pohon cempaka tua. Ia menutup mata,
mengingat mantra kuno yang diajarkan oleh leluhur. Dalam Carita Parahyangan
versi lisan, momen-momen seperti ini selalu menjadi pengingat: manusia harus
memadukan keberanian fisik dengan kewaspadaan spiritual.
Ia
menepuk pundak murid-muridnya yang berjaga di luar gubuk. “Mimpi Dyahrengganis
adalah peringatan. Siapkan diri kalian. Musuh tidak hanya datang dengan tombak dan
pedang, tetapi dengan tipu daya dan ambisi pribadi. Kita harus tetap waspada,
menjaga pedukuhan, dan melindungi cahaya ini.”
Hingga
larut malam, hutan Alas Sinang tetap berbisik lirih. Cahaya kunang-kunang
menari di antara ranting pohon, seolah mengikuti ketegangan hati manusia di
bawahnya. Dalam folklore, dikisahkan bahwa malam itu menjadi awal dari
serangkaian ujian yang lebih besar: perang, intrik, dan cinta yang harus
dijaga. Mimpi merah Dyahrengganis akan menjadi simbol peringatan, cahaya di
tengah kegelapan, dan tekad untuk mempertahankan kehormatan Cempaka Mulia,
meski badai terus mengancam dari segala arah.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com