Bagian 25. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Lembah Darah dan Janji: Pengejaran
Dyahrengganis
Sementara itu, di sudut hutan yang lebih gelap, beberapa prajurit Cirebon
berhasil menyusup lewat jalur rahasia yang hanya diketahui oleh Jaka Lodra.
Jalur itu sempit dan berliku, dibatasi oleh akar pohon yang menjalar dan semak
belukar yang rapat, namun bagi para prajurit yang haus darah, itu menjadi jalan
menuju korban mereka. Cahaya bulan menembus celah daun, menyoroti
langkah-langkah diam mereka yang nyaris tak terdengar.
Dyahrengganis, yang tengah melangkah pelan dengan hati-hati, tiba-tiba
merasakan hawa dingin menyelimuti punggungnya. Suara ranting patah di
belakangnya membuat bulu kuduknya meremang. Dalam sekejap, bayangan prajurit
muncul dari kegelapan, menghalangi jalan pelariannya.
Suta Pradana, yang berada beberapa langkah di depan Dyahrengganis, segera
menyadari bahaya yang mengintai. Dengan tombak seadanya yang dipegangnya, ia
melompat ke depan, menangkis serangan demi serangan yang diarahkan kepadanya.
Tubuhnya berguncang saat beberapa tombak berhasil menembus perisainya, dan
darah mulai mengucur dari lengannya. Namun meski nyeri membakar, Suta tetap
berdiri tegap, menatap musuh dengan mata yang menyala oleh kemarahan dan cinta.
“Siapa pun yang ingin menyentuh Dyahrengganis, harus melewati tubuhku dulu!”
teriaknya, suaranya bergema di antara pepohonan, menembus hening malam yang hanya
diiringi desah angin. Setiap kata yang diucapkan bagaikan sumpah, janji yang
menegaskan keberaniannya. Para prajurit Cirebon, yang sebelumnya merasa yakin,
terhuyung mendengar keberanian seorang pemuda rakyat jelata menantang mereka
dengan penuh keberanian.
Namun, jumlah musuh terlalu banyak. Satu demi satu mereka mendorong Suta ke
belakang, menyerang dengan tombak dan pedang yang berkilau diterpa cahaya
bulan. Suta mencoba menangkis, memutar tombaknya, memukul lawan yang terlalu
dekat. Tubuhnya mulai goyah, keringat bercampur darah menetes ke tanah lembap.
Ia tahu, meski hatinya penuh keberanian, tubuhnya tidak mampu bertahan terlalu
lama menghadapi gelombang musuh yang tak henti-henti.
Dyahrengganis, yang menatap dari belakang, berteriak histeris ketika melihat
Suta ditikam dari belakang. Teriakan itu pecah seperti petir di malam sunyi,
mengguncang hati setiap prajurit yang mendengarnya. Matanya berkaca-kaca, namun
ia segera mengingat janji yang telah mereka buat: bahwa cinta dan keberanian
tidak akan pernah runtuh, meski tubuh mereka rapuh. Dengan sekuat tenaga,
Dyahrengganis mencoba lari, menembus bayangan pepohonan, berharap menemukan
celah untuk selamat dari sergapan musuh.
Sementara itu, Suta menggertakkan gigi, menahan nyeri yang menjalar dari lukanya.
Ia menatap setiap musuh, seolah menantang dunia: bahwa keberanian seorang
pemuda tak bisa dibeli dengan kekuatan atau jumlah. Ia menendang satu prajurit
hingga terjungkal, memutar tombaknya untuk menangkis serangan lain, dan
sesekali berteriak, memanggil nama Dyahrengganis agar ia tahu bahwa ia tidak
akan menyerah, bahkan jika tubuhnya jatuh.
Hutan menjadi saksi pertarungan yang mengerikan itu. Suara ranting patah,
teriakan para prajurit, desah napas Suta, dan jeritan Dyahrengganis bercampur
menjadi simfoni malam yang mencekam. Dedauan beterbangan, diterpa kilatan
cahaya bulan dan obor yang terbawa oleh angin, menciptakan bayangan menakutkan
yang menari-nari di tanah. Setiap langkah, setiap gerakan, tampak seolah
dituntun oleh kekuatan tak terlihat, kekuatan yang lahir dari cinta,
keberanian, dan tekad yang membara.
Namun, ketika tubuh Suta tersungkur karena tikaman terakhir, darah mengalir
deras membasahi tanah di bawahnya, Dyahrengganis merasa dunianya runtuh. Tapi
di tengah kepanikan itu, sesuatu bangkit dalam hatinya: keberanian yang
diwarisi dari leluhur, dan janji yang terucap di fajar sebelumnya. Ia menatap
musuh dengan mata yang berkilat, tidak hanya ketakutan, tetapi juga kemarahan
yang menyala. Dengan langkah tegap, ia menembus barisan musuh, menggunakan
kelincahan dan kepintarannya untuk meloloskan diri, membawa harapan sekaligus
kesedihan di setiap gerakannya.
Suta Pradana, meski terkapar, tersenyum samar. Hatinya tenang mengetahui
bahwa Dyahrengganis akan melanjutkan perjalanan, membawa cinta mereka, membawa
janji yang tidak akan pernah hilang. Hutan Alas Sinang, malam itu, menyimpan
kisah keberanian seorang pemuda dan pengejaran yang menguji cinta dan
kesetiaan, kisah yang akan menjadi legenda yang diceritakan dari generasi ke
generasi: tentang seorang pemuda rakyat jelata yang berani menantang dunia demi
cinta sejatinya, dan seorang putri yang menolak menyerah meski bahaya mengintai
di setiap sudut bayangan.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com