Ads

Analisis Filsafat Politik: Menelaah Kondisi Bangsa

 

Analisis Filsafat Politik: Menelaah Kondisi Bangsa

Dibuat Oleh: Akang Marta

Pegiat Literasi Indramayu



Fenomena politik dan sosial di Indonesia terus menghadirkan tantangan serius bagi kelangsungan demokrasi dan pembangunan bangsa. Salah satu momen penting yang mengundang perhatian publik adalah apa yang disebut “Prahara Agustus 2025,” sebuah ekspresi kemarahan kolektif masyarakat yang telah mencapai puncaknya. Peristiwa ini bukan sekadar gejolak spontan, melainkan akumulasi dari ketidakpuasan publik terhadap perilaku politisi, kegagalan ekonomi, dan, lebih mendasar, kegagalan sistem demokrasi itu sendiri. Dalam konteks filsafat politik, peristiwa ini menjadi cermin dari dilema eksistensial demokrasi di Indonesia: antara idealisme hukum dan realitas kekuasaan.

Wibowo, pengamat politik, menekankan bahwa demokrasi Indonesia telah kehilangan telos—tujuan atau arah yang seharusnya menjadi inti dari kehidupan politik. Demokrasi yang seharusnya menegakkan kesetaraan, keadilan, dan supremasi hukum kini tampak tereduksi menjadi arena perebutan kekuasaan semata. Dalam perspektif filsafat politik klasik, hal ini mengindikasikan kegagalan praktik demokrasi modern dalam menyeimbangkan kepentingan individu dan kolektif, serta menegakkan keadilan distributif dan prosedural.

Amoralisme dalam Politik dan Pencarian Kekuasaan

Dalam pengamatannya, Wibowo merujuk pada gagasan Robert Greene dalam The 48 Laws of Power, yang menegaskan bahwa kekuasaan bersifat amoral; ia tidak memiliki nilai intrinsik baik atau buruk. Dalam praktik politik Indonesia, kekuasaan sering dicari semata-mata untuk kepentingan diri sendiri, bukan untuk kebaikan bersama. Fenomena ini mencerminkan apa yang dapat disebut sebagai amoralisme politik, di mana aturan moral dan prinsip keadilan dikesampingkan demi ambisi individu.

Amoralisme ini terlihat jelas pada praktik brutal politik, di mana para aktor politik bersaing untuk mendapatkan posisi dan pengaruh tanpa memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat. Demokrasi, dalam konteks ini, menjadi instrumen untuk mengokohkan kekuasaan, bukan sebagai mekanisme untuk meningkatkan kesejahteraan publik. Praktik politik seperti ini sejatinya menimbulkan krisis legitimasi, karena rakyat kehilangan kepercayaan terhadap institusi politik dan hukum.

Krisis Hukum dan Budaya Politik “Epitomia”

Salah satu aspek paling mendasar yang menjadi sorotan Wibowo adalah defisit demokrasi dalam hal penegakan hukum. Ia menekankan bahwa meskipun hukum tertulis telah ada, praktik di lapangan menunjukkan bahwa hukum mudah "ditekuk-tekuk sesuai kepentingan penguasa." Fenomena ini dapat dikategorikan sebagai anomia, yaitu ketiadaan hukum yang efektif dan tegas. Dalam kondisi ini, yang berlaku bukanlah supremasi hukum, melainkan hukum rimba, di mana kekuatan uang menjadi determinan utama dalam berbagai keputusan politik dan administrasi publik.

Wibowo membandingkan kondisi ini dengan keruntuhan demokrasi Athena kuno yang juga mengalami degradasi akibat korupsi dan kepentingan elit. Dalam konteks Indonesia modern, uang menjadi kunci untuk mendapatkan jabatan di lembaga legislatif, partai politik, maupun institusi publik lainnya. Nepotisme pun merasuk ke semua lini, menimbulkan kesan bahwa kekuasaan adalah hak istimewa yang diwariskan dan diperjualbelikan. Budaya “tidak enakan” membuat masyarakat enggan menentang penguasa setelah diberi bantuan sosial atau suap.

Selain itu, Wibowo mengkritik definisi korupsi di Indonesia yang terbatas pada urusan negara dan tidak mencakup praktik antar-swasta. Di negara-negara seperti Amerika Serikat, penyuapan antar-swasta termasuk tindak pidana, sehingga menimbulkan kesadaran hukum yang lebih luas. Fenomena di Indonesia ini disebutnya sebagai politik epitomia, di mana politik hanya berfokus pada materi, perut, dan uang. Dengan kata lain, politik bukan sarana untuk pelayanan publik, tetapi alat akumulasi kekayaan dan kekuasaan.

Hipokrasi, Identitas Kosong, dan Feodalisme

Fenomena politik yang penuh dengan kepentingan pribadi ini tak lepas dari masalah identitas bangsa. Wibowo merujuk pada pemikiran Mochtar Lubis terkait hipokrasi, menekankan bahwa kemunafikan politik adalah konsekuensi dari identitas bangsa yang kosong. Bangsa Indonesia, menurut Wibowo, cenderung mudah beradaptasi dan berganti "topeng" dalam berbagai situasi. Sikap sinkretis ini, yang pada awalnya dianggap kelebihan karena fleksibilitas budaya, justru menjadi kelemahan ketika pondasi identitas tidak kokoh.

Ketiadaan identitas ini juga menghambat dialektika dalam ruang publik. Alih-alih terjadi perdebatan rasional untuk mencari sintesis ide, perbedaan pendapat sering dihindari demi menjaga "harmoni." Namun ketika konflik tidak dapat dihindari, gejala yang muncul adalah kemarahan publik yang eksplosif, sebagaimana tercermin dalam “Prahara Agustus 2025.” Wibowo menyimpulkan bahwa budaya politik Indonesia masih dipengaruhi oleh feodalisme, di mana kekuasaan dianggap sebagai tanah pinjaman yang dieksploitasi dan kemudian “disetor ke atas” oleh para elite.

Fenomena ini menegaskan bahwa demokrasi yang dijalankan di Indonesia belum mampu mengubah pola hubungan patron-klien yang bersifat feodal, meskipun secara formal institusi demokrasi telah berdiri. Praktik politik feodal ini menghasilkan hubungan yang timpang antara penguasa dan rakyat, di mana keadilan dan kesejahteraan publik selalu menjadi korban.

Pendidikan, Kultur, dan Harapan Bangsa

Wibowo melihat akar masalah dalam pendidikan. Pendidikan di Indonesia dianggap gagal membentuk karakter yang integritas dan anti-korupsi. Perilaku seperti mencontek dan manipulasi nilai dianggap wajar sejak dini, berbeda dengan negara-negara seperti Prancis, di mana kejujuran akademik menjadi prinsip fundamental. Ketika nilai moral tidak ditanamkan sejak awal, budaya politik yang penuh kepentingan pribadi akan terus berulang.

Selain pendidikan formal, kultur dan iklim sosial-budaya juga menjadi faktor penentu kemajuan bangsa. Wibowo membandingkan Indonesia dengan Korea Selatan, yang meskipun memiliki sejarah kemerdekaan yang tidak jauh berbeda, mampu melesat maju secara ekonomi dan teknologi. Faktor ini, menurut Wibowo, berkaitan dengan budaya disiplin dan kerja keras yang terbentuk oleh kondisi geografis dan iklim empat musim. Sebaliknya, Indonesia yang berada di garis khatulistiwa cenderung lebih santai karena alam menyediakan kelimpahan yang relatif murah. Namun Wibowo menekankan bahwa perbedaan sejarah dan iklim tidak bisa dijadikan alasan untuk berdiam diri; kemajuan bangsa tergantung pada keputusan dan tindakan generasi sekarang.

Dalam konteks ini, pendidikan seharusnya menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai integritas, kepedulian sosial, dan kemampuan kritis terhadap kekuasaan. Kelompok masyarakat sipil yang cerdas secara politik akan menjadi penyeimbang bagi praktik politik yang amoralis dan penuh kepentingan pribadi. Pendidikan yang baik tidak hanya membekali pengetahuan teknis, tetapi juga membentuk karakter warga negara yang mampu mempertahankan demokrasi dari degradasi moral.

Refleksi Filosofis: Demokrasi, Kekuasaan, dan Moralitas

Analisis Wibowo mengundang refleksi filosofis mendalam mengenai hubungan antara demokrasi, kekuasaan, dan moralitas. Dari perspektif filsafat politik klasik, demokrasi tidak hanya soal prosedur pemilihan umum atau mekanisme legislatif, tetapi juga soal justitia distributiva dan justitia commutativa, yakni keadilan dalam distribusi sumber daya dan keadilan dalam pertukaran antar-warga. Ketika uang dan kepentingan pribadi mendominasi politik, demokrasi kehilangan esensinya sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan.

Amoralisme politik, sebagaimana dijelaskan Wibowo, menunjukkan bahwa kekuasaan tidak lagi dikendalikan oleh norma moral atau etika. Hal ini sejalan dengan pandangan Machiavelli dalam The Prince, bahwa penguasa yang efektif seringkali harus menempuh jalur amoral untuk mempertahankan kekuasaan. Namun, dalam konteks demokrasi modern, amoralitas semacam ini justru berkonsekuensi pada krisis legitimasi, karena penguasa kehilangan ikatan moral dengan rakyat yang menjadi dasar legitimasi.

Hipokrasi dan identitas kosong bangsa Indonesia menambah dimensi lain dari refleksi ini. Dalam kerangka eksistensial, bangsa yang tidak memiliki identitas yang kuat akan kesulitan membangun kesadaran kolektif, sehingga politik menjadi arena manipulasi dan pencitraan semata. Praktik politik yang feodal semakin memperkuat ketimpangan, karena kekuasaan diwariskan melalui hubungan patron-klien, bukan melalui legitimasi moral atau kinerja.

Masyarakat Sipil dan Harapan Demokrasi

Meski menghadapi berbagai tantangan, Wibowo tetap menekankan pentingnya demokrasi. Demokrasi harus dipertahankan, meskipun prosesnya lambat dan penuh kesulitan. Untuk itu, peran masyarakat sipil sangat penting. Masyarakat yang kritis dan cerdas secara politik akan menjadi pengawas alami terhadap kekuasaan, menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam setiap kebijakan publik.

Masyarakat sipil yang kuat dapat menjadi penyeimbang terhadap politik amoralis, mengurangi praktik korupsi, dan menumbuhkan kesadaran kolektif yang berbasis nilai moral. Dalam konteks filsafat politik, hal ini sejalan dengan gagasan Jean-Jacques Rousseau tentang kontrak sosial: legitimasi kekuasaan haruslah berlandaskan kehendak rakyat, dan penguasa harus melayani kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi atau elit tertentu.

Selain itu, pendidikan menjadi instrumen strategis untuk membangun kesadaran kritis dan etika publik. Dengan membentuk generasi yang integritas, disiplin, dan memiliki kesadaran moral, Indonesia dapat memperkuat fondasi demokrasi dan memperbaiki kultur politik yang selama ini dipenuhi kepentingan pribadi. Kombinasi antara pendidikan yang baik, masyarakat sipil yang kritis, dan institusi hukum yang tegas akan menjadi kunci untuk mewujudkan demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Analisis Wibowo tentang kondisi politik Indonesia pada “Prahara Agustus 2025” menyoroti kompleksitas masalah yang dihadapi bangsa ini. Krisis demokrasi, amoralisme politik, hipokrasi, identitas kosong, praktik feodal, dan kegagalan pendidikan menjadi faktor yang saling terkait. Semua fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia belum berhasil menyeimbangkan kekuasaan dengan moralitas, dan hukum belum menjadi instrumen yang efektif untuk menegakkan keadilan.

Namun, analisis ini juga menunjukkan jalan ke depan. Demokrasi tetap menjadi instrumen yang harus dijaga, dan masyarakat sipil yang kritis, pendidikan yang membentuk karakter, serta penegakan hukum yang konsisten menjadi fondasi untuk perbaikan. Dalam perspektif filsafat politik, upaya ini sejalan dengan cita-cita demokrasi modern: menjadikan kekuasaan sebagai sarana untuk kesejahteraan rakyat, menegakkan keadilan, dan membangun identitas kolektif yang kokoh.

Indonesia, sebagaimana dicontohkan oleh negara-negara lain, memiliki potensi untuk memperbaiki diri. Faktor sejarah, geografis, atau kultural tidak boleh dijadikan alasan untuk stagnasi. Kemajuan bangsa tergantung pada komitmen generasi saat ini untuk menegakkan nilai moral, integritas, dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan politik dan sosial. Dengan kesadaran kritis, pendidikan berkualitas, dan pengawasan masyarakat sipil, Indonesia memiliki peluang untuk menegakkan demokrasi yang sejati dan mengatasi “Prahara Agustus 2025” bukan hanya sebagai ekspresi kemarahan, tetapi sebagai momentum refleksi dan perbaikan nasional.

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel