Ads

Bagian 24. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis

 

Serangan Bulan Purnama: Pertempuran di Hutan Alas Sinang



Benar saja, ketika bulan purnama menggantung tinggi di langit, cahaya peraknya menembus celah-celah pepohonan hutan Alas Sinang, pasukan Cirebon menyerbu dengan langkah yang berat namun penuh tekad. Obor-obor menyala, memancarkan kilau merah keemasan yang menari di atas tanah yang lembap. Teriakan perang menggema, membelah hening malam yang biasanya hanya diisi bisik dedaunan dan nyanyian serangga malam.

Di garis depan, Ki Dusta, Ki Koang, dan Ki Brangbang berdiri tegap meski tubuh mereka masih nyeri akibat luka-luka pertempuran sebelumnya. Peluh membasahi dahi mereka, dan napas berat terdengar di antara raungan angin malam. Ki Dusta menancapkan tongkatnya ke tanah, membisikkan mantera kuno yang sudah turun-temurun diwariskan oleh para leluhur. Angin malam pun seakan menjawab, berhembus deras, merobek dedaunan hingga berjatuhan seperti hujan emas dan perak. Beberapa prajurit musuh terpelanting, terhuyung oleh kekuatan gaib yang membara. Namun, berbeda dengan sebelumnya, kali ini aura sakti Ki Dusta tidak sekuat biasanya; tubuhnya yang lemah karena luka membuat mantera itu teredam.

Dari tengah barisan pasukan, Wirasaba, panglima muda yang berani, maju selangkah. Sorot matanya tajam, penuh tekad yang menyala-nyala seperti bara api di malam gelap. Ia menatap Ki Dusta, suara tegasnya menggema di antara suara gemerisik hutan:

“Serahkan putrimu! Jangan memperpanjang penderitaan rakyatmu!”

Ki Dusta menatap balik dengan mata berkilat, penuh kemarahan dan tekad. Suaranya bergemuruh, bagai guntur yang memecah keheningan malam:

“Selama aku bernapas, Dyahrengganis takkan jatuh ke tanganmu, apalagi Cakranegara si serakah itu!”

Tanpa aba-aba, pertarungan antara dua orang sakti pun pecah. Suara senjata beradu memekakkan telinga, menggetarkan bumi di bawah kaki mereka. Pedang Wirasaba berkilau diterpa sinar bulan, sementara tongkat Ki Dusta berputar, menimbulkan bayangan aneh di pepohonan sekitar. Api dari obor-obor menari bersama angin yang menerpa dedaunan, menciptakan pemandangan yang mencekam, seperti lukisan perang yang hidup.

Ki Brangbang dan Ki Koang bergerak di sisi lain hutan, menghadapi prajurit Cirebon yang berbondong-bondong menyerbu. Kedua sakti itu menggerakkan ilmu gaib mereka, mengubah ranting-ranting pohon menjadi cambuk yang melibas musuh, atau akar pohon yang menjulur tiba-tiba menahan langkah lawan. Suara raungan, benturan logam, dan jeritan terdengar bersahutan, menciptakan simfoni perang yang menggetarkan setiap sudut hutan.

Di tengah pertempuran, Ki Dusta menekankan seluruh tenaganya pada mantera terakhir. Angin bertiup kencang, daun-daun beterbangan dalam pusaran, sementara cahaya bulan seolah menyoroti setiap gerakan. Namun tubuhnya menolak, lelah dan berdarah dari luka sebelumnya. Wirasaba memanfaatkan kesempatan itu, menyerang dengan satu gerakan cepat, pedangnya berdesing menyayat udara. Ki Dusta menangkis dengan tongkatnya, percikan api menyembur dari benturan logam dan sihir, membuat cahaya bulan seolah berpendar lebih terang.

Pertempuran itu bukan sekadar adu kekuatan, tetapi juga pertarungan tekad dan jiwa. Ki Dusta mempertahankan kehormatan dan cinta seorang ayah terhadap putrinya, sementara Wirasaba berjuang demi keadilan dan keselamatan rakyatnya yang tertindas oleh kekuasaan Cakranegara. Setiap gerakan, setiap serangan, bukan hanya senjata yang berbicara, tetapi juga doa, sumpah, dan harapan yang mengalir dari hati masing-masing.

Sementara itu, pasukan Cirebon yang lain mencoba menembus sisi hutan yang lain, namun Ki Brangbang dan Ki Koang menahan laju mereka dengan sihir pohon dan jurus-jurus sakti yang mengagumkan. Ada ranting yang melilit kaki prajurit, akar yang mencengkeram, dan angin yang mendorong lawan hingga terjatuh. Hutan itu, meski hening di siang hari, kini hidup menjadi medan tempur yang memuntahkan kekuatan alam dan gaib sekaligus.

Bulan purnama semakin tinggi, menyinari medan pertempuran dengan cahaya peraknya. Setiap sosok, setiap langkah, terekam dalam cahaya itu, seakan dunia mengabadikan kisah heroik dan tragis yang terjadi di Alas Sinang malam itu. Dan meski Ki Dusta mulai melemah, matanya tetap menyala dengan tekad untuk melindungi Dyahrengganis, untuk menjaga janji yang telah diucapkannya di fajar beberapa hari sebelumnya.

Malam itu, hutan menjadi saksi. Bukan hanya pertempuran antara manusia, tetapi juga benturan antara cinta, kesetiaan, dan keadilan. Suara alam, cahaya bulan, dan aura sakti yang berputar di antara pepohonan menandai bahwa legenda ini tidak akan pernah dilupakan, dan setiap daun yang gugur, setiap angin yang berhembus, akan menceritakan kisah serangan bulan purnama di Alas Sinang kepada generasi yang akan datang.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel