Ads

Bagian 11. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis

 

Cinta Tersembunyi di Tepi Sungai: Dyahrengganis dan Suta Pradana



Di tengah ketegangan yang melingkupi Cempaka Mulia—antara tekanan dari Cirebon dan ancaman politik—ada gelora lain yang bersemi di hati Nyai Dyahrengganis. Di balik wajah teduh dan senyum menenangkan, tersembunyi cinta yang tulus pada seorang pemuda biasa dari dukuh tetangga. Namanya bervariasi dalam cerita rakyat: sebagian menyebutnya Suta Pradana, sebagian lain Jaka Kerti.

Pemuda itu bukan bangsawan, bukan pula prajurit, melainkan seorang penggembala kerbau yang sederhana. Namun hatinya mulia, sabar, dan penuh ketulusan. Kesederhanaannya justru menumbuhkan rasa aman dan nyaman bagi Dyahrengganis, yang sejak kecil selalu hidup di bawah pengawasan ayahnya, Ki Dusta.

Mereka sering bertemu diam-diam di tepi sungai yang mengalir tenang, di antara pepohonan cempaka dan bambu yang berdesir ditiup angin sore. Di sana, mereka saling bertukar pantun sebagai ungkapan hati, seolah setiap kata menjadi doa yang menahan gelombang bahaya di luar.

Suta Pradana bersuara lembut:
“Air bening mengalir ke hilir,
di bawah jembatan bambu reot.
Hati ini tak mampu menyingkir,
kasih padamu tak akan surut.”

Dyahrengganis menanggapi dengan nada halus, penuh makna:
“Bunga cempaka harum mewangi,
jatuh di pangkuan gadis desa.
Bila hatimu tulus sejati,
biar kuhadang segala dosa.”

Pertemuan itu menjadi pelipur lara, di tengah kekhawatiran yang menyelimuti dukuh. Dyahrengganis tahu bahwa cinta yang terbuka bukan sekadar persoalan hati, tetapi juga bisa menjadi pemicu amarah Pangeran Cakranegara, yang menginginkannya sebagai permaisuri. Hati gadis itu bergejolak, antara gelora asmara dan kesadaran akan bahaya yang mengintai.

Ki Dusta sendiri menatap putrinya dengan mata yang tajam, membaca setiap gerak dan tatapan. Ia menyadari bahwa cinta Dyahrengganis terhadap pemuda desa bisa menjadi bumerang: bisa memperuncing konflik dengan Cirebon, atau bahkan menjadi alasan bagi bangsawan untuk menuntut secara paksa. Maka ia mengambil keputusan bijak, membimbing putrinya untuk menjaga rahasia hati itu, sambil tetap mengajarkan prinsip keberanian dan kesetiaan.

Legenda menyebutkan, setiap kali Dyahrengganis berjalan ke sungai untuk bertemu Suta Pradana, angin membawa harum cempaka, seakan ikut menyimbolkan rahasia cinta mereka. Rakyat percaya, bila gadis itu menunduk di tepi air sambil menyanyikan pantun, arwah leluhur turut menjaga keselamatan mereka. Bahkan daun-daun yang jatuh di permukaan sungai konon menjadi saksi bisu dari janji-janji yang terucap dengan hati tulus.

Meski sederhana, kisah ini mengandung pesan mendalam. Cinta Dyahrengganis dan Suta Pradana bukan sekadar asmara biasa; ia adalah simbol kesetiaan hati di tengah badai politik dan intrik, lambang keberanian untuk mencintai dengan tulus, sekalipun dunia menentang. Rakyat Cempaka Mulia menuturkannya turun-temurun: kisah itu mengingatkan bahwa hati yang murni selalu menemukan jalannya, walau berhadapan dengan kekuatan yang besar.

Dan begitulah, di tepi sungai, di bawah pohon cempaka yang harum, gelora dalam diri Dyahrengganis terus bersemi, menjadi benih harapan di tengah malam yang penuh ancaman. Pantun dan bisikan hati mereka, hingga kini, menjadi legenda tentang cinta yang tersembunyi namun abadi, tersimpan dalam sunyi alam dan ingatan rakyat.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel