Ads

Kilas Balik Legenda Alas Sinang: Asal-Usul Pedukuhan Cempaka Mulia

 

Kilas Balik Legenda Alas Sinang: Asal-Usul Pedukuhan Cempaka Mulia



Kisah Legenda Alas Sinang menggambarkan lahirnya Pedukuhan Cempaka Mulia di kawasan timur hutan Sinang, Indramayu, yang diyakini berdiri sejak abad ke-15 M. Nama pedukuhan ini berasal dari sebuah pohon cempaka putih keramat, tempat masyarakat bersumpah untuk hidup damai, bergotong-royong, dan menjaga persatuan.

Dalam catatan sejarah seperti Babad Cirebon dan Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN), disebutkan bahwa pada masa Pangeran Cakrabuana mendirikan Caruban (Cirebon), hutan Sinang sudah dihuni para pelarian dari Pajajaran, Majapahit, maupun pendatang lain. Mereka membuka lahan, berdagang, serta berbaur dengan pedagang pesisir. Dari sinilah muncul sebuah komunitas agraris sekaligus simpul perdagangan kecil yang kemudian berkembang menjadi pedukuhan Cempaka Mulia.

Hutan Sinang digambarkan sebagai kawasan lebat, penuh satwa liar, sekaligus tanah yang subur. Para peladang, pemburu, tukang kayu, dan pengungsi politik membentuk komunitas beragam. Pohon cempaka putih menjadi simbol persatuan mereka. Tradisi lisan juga menyebut tokoh Ki Arya Jaya Laksana, seorang pelarian Majapahit yang ikut memimpin awal pembentukan pedukuhan dengan mengajarkan sistem pertanian dan nilai gotong-royong.

Selain sejarah, bahasa reang menjadi warisan penting. Dialek ini lahir dari percampuran bahasa Sunda (pedalaman Pajajaran) dan Jawa (pesisir Cirebon). Berbeda dengan dialek isun yang digunakan masyarakat pesisir, reang menjadi identitas khas masyarakat pedalaman Indramayu, terutama di Cempaka Mulia.

Cempaka Mulia juga berfungsi sebagai simpul perdagangan lokal. Pedagang pesisir membawa garam dan ikan asin, sedangkan masyarakat pedalaman menukar hasil hutan dan pertanian. Sistem barter melahirkan jejaring sosial, perkawinan antar kelompok, serta memperkuat akulturasi budaya.

Legenda Alas Sinang memperlihatkan bahwa sejarah Indramayu tidak hanya lahir dari pusat kerajaan dan pelabuhan besar, tetapi juga dari pedukuhan kecil yang menjadi ruang pertemuan budaya Sunda–Jawa, pesisir–pedalaman, serta mitos–sejarah. Hingga kini, kisah Cempaka Mulia terus diwariskan, menjadi fondasi identitas masyarakat: persatuan, gotong-royong, dan keberanian membangun kehidupan baru di tengah perbedaan.

Kontributor

Akang Marta

Indramayutradisi.com

 

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel