Legenda Alas Sinang Bagian 2: Latar Belakang Abad ke-15
Latar Belakang Abad ke-15: Nusantara dalam Pusaran Perubahan
Pada abad
ke-15 Masehi, wilayah Nusantara tengah memasuki masa transisi yang menentukan
arah sejarahnya. Di bagian barat Pulau Jawa, Kerajaan Sunda Pajajaran masih
berdiri kokoh dengan pusat pemerintahannya di Pakuan Pajajaran. Kerajaan ini
menguasai pedalaman dan jalur hulu sungai, sementara wilayah pesisir utara Jawa
perlahan-lahan tumbuh menjadi simpul perdagangan yang dinamis.
Pelabuhan-pelabuhan seperti Cirebon, Japura, dan Indramayu mulai ramai
disinggahi pedagang dari berbagai penjuru, membawa rempah, kain, dan komoditas
lain yang menjadi rebutan di pasar regional.
Pada masa
yang sama, Islam menyebar dengan cepat ke pesisir utara Jawa. Para pedagang
dari Gujarat, Arab, dan bahkan Tiongkok Muslim menjadi jembatan utama
penyebaran agama ini. Tidak hanya berdagang, mereka juga membangun masjid,
mendirikan perkampungan, serta menjalin hubungan dengan penduduk lokal. Penyebaran
Islam yang bersifat damai dan adaptif membuatnya diterima secara perlahan namun
mantap oleh masyarakat pesisir.
Dalam
konteks inilah muncul seorang tokoh penting, Pangeran Cakrabuana atau
Walangsungsang. Ia adalah putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran, namun memilih
keluar dari istana untuk merintis kehidupan baru. Menurut catatan dalam Babad
Cirebon, Cakrabuana mendirikan pusat pemerintahan baru di Cirebon. Dalam
naskah tersebut terdapat kutipan yang berbunyi:
“...Wangsakerta
sang Prabu Cakrabuana, angandika miwah ngadegaken nagara anyar, Cirebon
aranipun. Ing wewengkon wétan alas Sinang, para pelarian sami anggadhahi papan
anyar.”
(Babad Cirebon, naskah koleksi Keraton Kasepuhan, terjemahan bebas).
Kutipan
ini mengindikasikan bahwa kawasan sekitar alas Sinang (hutan Sinang)
sudah dikenal sejak abad ke-15 sebagai tempat berkumpulnya kelompok pelarian
dan pendatang. Mereka mencari perlindungan sekaligus membuka permukiman baru di
luar jangkauan langsung Pajajaran. Dari konteks inilah kemungkinan besar muncul
cikal-bakal pedukuhan seperti Cempaka Mulia, yang berkembang menjadi
titik persinggahan bagi pedagang sekaligus komunitas agraris yang mandiri.
Sebagai
pedukuhan yang berada di jalur antara pesisir dan pedalaman, Cempaka Mulia
memiliki peranan ganda. Di satu sisi, ia menerima pengaruh budaya pesisir yang
kosmopolit, terbuka pada arus perdagangan dan agama Islam. Di sisi lain, ia
tetap membawa jejak tradisi Sunda pedalaman yang kental dengan budaya agraris
dan ritual lokal. Pertemuan dua arus inilah yang pada akhirnya melahirkan
identitas khas masyarakat Indramayu.
Dalam
perkembangannya, Cempaka Mulia bukan hanya menjadi tempat singgah pedagang,
tetapi juga wadah bagi transformasi sosial dan budaya. Bahasa, kesenian, serta
struktur sosial masyarakatnya mencerminkan akulturasi yang panjang. Dialek
reang yang tumbuh di kawasan ini, misalnya, menjadi bukti hidup dari perpaduan
antara Sunda dan Jawa. Demikian pula dengan tradisi lisan yang diwariskan
turun-temurun, yang menyimpan memori tentang masa-masa awal pembentukan
komunitas.
Kisah ini
memperlihatkan bahwa sejarah besar Nusantara tidak hanya berlangsung di pusat
kerajaan atau pelabuhan utama, melainkan juga di pedukuhan-pedukuhan kecil
seperti Cempaka Mulia. Ia menjadi saksi bagaimana perubahan politik, ekonomi,
dan agama pada abad ke-15 meresap hingga ke ruang hidup masyarakat lokal.
Dengan demikian, memahami Cempaka Mulia berarti juga membaca dinamika
perjumpaan antara Pajajaran, Cirebon, dan dunia perdagangan internasional yang
membentuk wajah Jawa bagian barat hingga hari ini.
Kontributor
Akang Marta
Indramayutradisi.com