Ads

Bagian 29. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis

 

Bagian IV: Kutukan Alas Sinang

Hutan yang Menangis: Malapetaka di Alas Sinang



Sejak Dyahrengganis dan Suta Pradana tenggelam ke dasar Sungai Alas Sinang, hutan yang dulu hidup kini berubah menjadi tempat yang asing dan menakutkan. Sungai yang biasanya beriak tenang kini keruh, airnya bergolak pelan seolah menahan rahasia besar yang tidak siap diungkapkan oleh manusia. Cahaya bulan yang menembus celah pepohonan tampak suram, memantul di permukaan air yang gelap, menambah aura misteri yang menyelimuti Alas Sinang.

Burung-burung yang biasanya berkicau riang sejak fajar kini diam, menahan suara mereka. Serangga malam, yang biasanya bersahut-sahutan, juga menghilang, meninggalkan hutan dalam kesunyian yang mencekam. Bahkan angin seakan berhenti berhembus, membiarkan daun-daun bergoyang perlahan, seakan menundukkan diri pada kekuatan yang baru saja bangkit.

Para prajurit Cirebon yang tersisa di hutan mulai merasakan hawa aneh yang tidak bisa dijelaskan. Dada mereka sesak, napas berat, dan tubuh mereka gemetar seakan disentuh oleh kekuatan gaib. Beberapa dari mereka menatap permukaan sungai dan melihat bayangan samar wajah Dyahrengganis terapung, matanya menatap kosong namun penuh pesan. Beberapa prajurit jatuh sakit mendadak, mulut mereka berbuih, dan mereka tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Kengerian merayap di antara mereka, seperti bayangan gelap yang menelan keberanian dan kesombongan manusia.

Tumenggung Wirasaba yang memahami seluk-beluk ilmu gaib merasa getaran kekuatan itu. Dengan sigap, ia memerintahkan pasukannya untuk mundur perlahan, menghindari amarah yang tidak bisa diprediksi dari hutan ini. Namun perintah itu diabaikan oleh Pangeran Cakranegara, yang matanya merah oleh kemarahan dan obsesi.

“Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum Dyahrengganis kembali padaku!” teriak Cakranegara, suaranya bergema di antara pepohonan tinggi. Tubuhnya bergetar, pedang di tangannya berkilau diterpa cahaya bulan. “Bila ia mati, aku akan gali bumi, aku akan belah sungai, aku akan paksa alam menyerahkannya!”

Ucapan itu seperti memecahkan peringatan gaib yang telah lama diam di Alas Sinang. Tanah berguncang pelan, dedaunan bergetar hebat, dan pohon-pohon berderak seperti ingin menghalangi langkah Pangeran yang sombong itu. Arus sungai tiba-tiba bergolak, memantulkan cahaya bulan dengan kilau yang mengerikan, seakan memperingatkan bahwa alam tidak bisa diperintah oleh kemarahan manusia semata.

Petir menyambar dari langit yang gelap, menciptakan kilatan yang menyoroti wajah Cakranegara. Ia berteriak, menantang langit, menantang bumi, dan menantang sungai yang menelan cintanya. Namun setiap langkah dan pukulan pedangnya pada tanah dan air hanya menghasilkan riak kecil, bukti bahwa alam Alas Sinang tidak dapat dipaksa. Malapetaka mulai merayap perlahan; hewan-hewan hutan berlari ketakutan, tanah retak di beberapa titik, dan angin berdesir kencang, membawa bisikan gaib yang mengingatkan manusia akan batas keberanian mereka.

Para prajurit yang mengikuti Pangeran mulai panik. Tubuh mereka gemetar, dan beberapa jatuh tersungkur. Air liur menetes dari mulut mereka, mereka menggeliat tanpa daya menghadapi kekuatan yang lahir dari kesedihan, pengorbanan, dan amarah yang telah menjadi doa oleh Ki Dusta. Hutan seakan hidup sendiri, memisahkan manusia dari kehendak alam, dan menegaskan bahwa tragedi sungai bukan sekadar kematian dua insan muda, tetapi permulaan dari kekuatan yang lebih besar.

Di tengah kekacauan itu, Cakranegara berdiri di tepi sungai, menatap ke dalam arus yang gelap. Ia marah, tapi amarahnya kini mulai berubah menjadi ketakutan yang tajam. Kilatan cahaya dari petir menyorot wajahnya, menyingkap kerut marah dan ketidakberdayaan yang terpahat di setiap garis. Ia menyadari, meski pedang dan kekuasaan ada di tangannya, ia tidak mampu menandingi kekuatan yang lahir dari cinta dan pengorbanan sejati.

Sejak malam itu, hutan Alas Sinang tidak lagi hanya tempat yang dihuni pepohonan dan hewan. Ia menjadi saksi malapetaka, tempat di mana kemarahan seorang manusia bisa memanggil amarah alam, tempat di mana suara seorang ayah dan cinta seorang putri serta pemuda menjadikan sungai, tanah, dan hutan sebagai kekuatan sakral yang tak bisa dilanggar. Generasi berikutnya akan menceritakan legenda ini: bahwa siapa pun yang mencoba memaksa kehendak alam akan menemukan batas mereka sendiri, dan bahwa cinta sejati, pengorbanan, dan doa yang lahir dari amarah bisa mengubah alam menjadi penjaga yang abadi.

Alas Sinang menangis, tidak dengan air mata manusia, tetapi dengan gemuruh sungai, desiran angin, dan derak pepohonan. Hutan yang dulu biasa kini menjadi sakral, dan nama Dyahrengganis serta Suta Pradana akan selalu hidup dalam setiap bisikan angin dan riak sungai, sebagai pengingat bahwa malapetaka bisa lahir dari keserakahan, dan kehormatan serta cinta bisa memanggil kekuatan yang lebih besar daripada dunia manusia.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel