Bagian 33. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Perpisahan Ki Dusta dengan Murid-Muridnya: Ratapan Terakhir di Alas Sinang
Pertempuran
di Alas Sinang mencapai puncaknya. Hutan yang biasanya tenang kini bergemuruh
oleh teriakan dan dentingan senjata. Darah membasahi tanah, aroma besi
bercampur tanah basah menyelimuti udara. Pepohonan tinggi bergoyang, seolah
ikut merasakan penderitaan yang terjadi di bawahnya. Para murid Ki Dusta, yang
selama ini setia menjaga pedukuhan, kini berada di ambang kehancuran.
Ki Koang
roboh, dadanya tertikam tombak musuh. Tubuhnya terkulai, napasnya terengah, dan
darah mengucur dari luka-luka yang menorehkan sejarah keberanian di setiap
helainya. Di sampingnya, Ki Brangbang jatuh tersungkur, tubuhnya dipenuhi
puluhan luka yang tak lagi mampu ditahan oleh tenaganya. Mereka berdua menatap
Ki Dusta dengan pandangan yang penuh kesetiaan, meski tubuh mereka semakin
lemah.
Ki Koang
mengangkat tangan yang gemetar, mencoba menyentuh kaki gurunya. Suaranya nyaris
tak terdengar, lemah dan serak:
“Guru… kami sudah menjaga pedukuhan… jangan tangisi kami…”
Ki
Brangbang menatap hutan yang mulai gelap, udara dipenuhi bau darah dan kabut
tipis. Ia menelan ludah dan berbisik dengan napas tersengal:
“Bila hutan ini jadi kutukan, biarlah jiwa kami ikut menjaga, bersama
Dyahrengganis…”
Ki Dusta
menundukkan kepala, air matanya menetes di pipi yang penuh keriput,
menggambarkan rasa kehilangan yang tak terukur. Ia merunduk, menyentuh kepala
murid-muridnya satu per satu, merasakan kehangatan terakhir dari jiwa-jiwa yang
telah ia didik dan cintai. Setiap sentuhan bagaikan doa, meresap ke dalam tanah
Alas Sinang, menandai kesetiaan dan keberanian mereka.
Hutan
semakin sunyi, hanya terdengar suara angin yang berdesir melalui
ranting-ranting pohon dan daun yang gugur. Alam seakan menunggu kata-kata Ki
Dusta, menyadari bahwa momen ini bukan sekadar perpisahan, tetapi pengikat
antara manusia, hutan, dan kutukan yang akan lahir.
Ki Dusta
mengangkat wajahnya ke langit, matanya yang merah dan basah dipenuhi ratapan.
Suara hutan seperti bergema mengikuti lirihnya kata-kata:
“Anakku, muridku, semua telah hilang… hanya aku yang tersisa. Maka biarlah aku
pun menyatu dengan Alas Sinang.”
Udara
malam bergetar. Kabut tebal menelan tanah, dan suara-suara burung malam
berhenti berkicau. Sungai di dekatnya bergolak pelan, seolah mendengar doa
terakhir Ki Dusta. Cahaya bulan menembus celah pepohonan, menyoroti sosok guru
yang kini berdiri sendiri di antara mayat-mayat muridnya, darah, dan hutan yang
mulai sunyi.
Ki Dusta
menunduk kembali, menaruh tangan di tanah yang basah oleh darah dan air mata.
Ia merasakan energi murid-muridnya berpadu dengan tanah dan akar, seolah hutan
mulai menyerap jiwa mereka menjadi satu dengan dirinya. Aroma tanah basah,
dedaunan yang gugur, dan gemerisik air sungai menjadi musik pengiring ratapan
yang syahdu sekaligus menakutkan.
Hutan
mulai merespons. Akar-akar pohon bergerak perlahan, cabang-cabang menekuk, dan
kabut menebal di sekelilingnya. Angin malam membawa bisikan samar, bisikan yang
terdengar seperti nama-nama muridnya, memanggil dan menyatu dengan doa Ki
Dusta. Burung-burung malam, yang biasanya berhenti berkicau, kembali menirukan
suara-suara lirih yang seakan menjadi ratapan alam.
Ki Dusta
merasakan bahwa kekuatan murid-muridnya tetap hidup, melindungi pedukuhan dan
hutan dari niat jahat manusia. Tubuhnya yang lelah, berdarah, dan basah oleh
air mata kini menjadi pusat doa, pusat pengorbanan, dan pusat energi yang akan
menyatukan Alas Sinang dengan kesetiaan, cinta, dan pengorbanan manusia.
Ia
menutup mata sejenak, mengingat setiap pelajaran yang telah ia berikan, setiap
tawa dan air mata yang dibagi bersama murid-muridnya. Hatinya dipenuhi rasa
bangga, meski tak terelakkan juga perih yang mendalam. Ia tahu, perpisahan ini
bukan akhir, melainkan awal dari sebuah legenda—legenda yang akan dihormati
oleh semua yang berani masuk Alas Sinang.
Saat
fajar mulai menembus kabut, cahaya pertama menyorot tanah basah dan sungai yang
bergolak pelan. Ki Dusta berdiri, menatap ke hulu sungai, dan merasakan
kehadiran Dyahrengganis dan Suta yang telah menghilang sebelumnya. Alam seakan
berbisik: kekuatan cinta dan kesetiaan kini telah menyatu dengan Alas Sinang.
Murid-muridnya,
meski telah gugur, tetap hadir dalam bentuk energi yang menjaga hutan. Setiap
langkah musuh yang mencoba merusak hutan kini akan menghadapi akar-akar yang
hidup, bayangan yang menakutkan, dan kekuatan gaib yang lahir dari pengorbanan
dan doa. Ki Dusta tersenyum lemah, mengetahui bahwa perpisahan ini tidak
sia-sia. Jiwa-jiwa muridnya tetap melindungi hutan, dan kisah mereka akan
menjadi legenda yang diceritakan dari generasi ke generasi.
Hingga malam
kembali menyelimuti Alas Sinang, Ki Dusta berdiri sendiri, namun hatinya tak
lagi kosong. Ia telah menyatukan dirinya dengan murid-muridnya, dengan hutan,
dengan sungai, dan dengan legenda yang akan abadi. Di tengah sunyi, ia menatap
langit yang mulai memerah oleh cahaya fajar, berbisik lirih:
“Bersatulah, jiwa-jiwa yang terpilih… biarkan Alas Sinang hidup dan menjadi
saksi dari cinta, pengorbanan, dan kesetiaan yang tak terpisahkan.”
Sejak
saat itu, pedukuhan dan hutan Alas Sinang tetap suci dan menakutkan.
Orang-orang yang memasuki hutan harus menghormati legenda itu, sebab jiwa Ki
Dusta dan murid-muridnya masih menjaga setiap akar, setiap batu, setiap sungai,
dan setiap hembusan angin. Perpisahan itu bukan akhir, melainkan kekal dalam
setiap bisikan daun dan riak sungai, menjadi pengingat abadi bagi siapa pun
yang mencoba menentang kesetiaan dan keberanian.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com