Ads

Bagian 38. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis

 

Alas Sinang: Jejak Cinta dan Kutukan di Tanah Wingit



Sejak peristiwa tragis yang mengubah wajah Alas Sinang, hutan itu tak lagi sekadar pepohonan dan sungai yang mengalir. Ia menjadi wilayah sakral, dipenuhi misteri dan energi gaib yang tersimpan dari pengorbanan Ki Dusta, Dyahrengganis, dan Suta Pradana. Hingga kini, warga Indramayu menyebut sebagian wilayah hutan itu sebagai “tanah wingit” atau “tanah angker,” sebuah nama yang menegaskan bahwa hutan ini bukan sekadar tempat biasa, melainkan tanah yang dihuni oleh roh-roh leluhur dan jiwa-jiwa yang tak pernah tenang.

Di kalangan warga, nama Dyahrengganis dan Ki Dusta sesekali disebut dalam ritual sedekah bumi, terutama saat meminta keselamatan dan keberkahan bagi lahan pertanian dan pemukiman. Mereka dianggap sebagai roh leluhur yang patut dihormati, pelindung yang menjaga batas antara manusia dan alam, serta pengingat akan harga pengorbanan dan kesetiaan. Anak-anak desa diajarkan untuk menundukkan kepala saat melewati tepi hutan atau sungai, dan orang dewasa selalu menekankan pentingnya menghormati tanah yang pernah menjadi saksi tragedi besar.

Babad Cirebon dan cerita rakyat Indramayu mencatat legenda Alas Sinang dengan berbagai versi. Beberapa menekankan keberanian Ki Dusta dalam menentang pasukan Cirebon, menegaskan bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan dapat lahir dari hati yang teguh. Lainnya lebih menyoroti cinta Dyahrengganis dan Suta Pradana, pasangan yang menolak tunduk pada takdir kejam dan rela mengorbankan hidup mereka demi tetap bersama. Meskipun detail cerita berbeda-beda, intinya selalu sama: Alas Sinang adalah hutan kutukan, lahir dari cinta, pengkhianatan, dan dendam yang tak pernah padam.

Warga percaya bahwa setiap langkah di tanah Alas Sinang diiringi oleh pengawasan roh-roh yang menjaga hutan. Sungai yang dulu menjadi saksi terakhir perpisahan Dyahrengganis dan Suta Pradana tetap mengalir jernih, namun sesekali muncul riak aneh atau kabut tipis yang bergerak tanpa arah, seakan menyambut kedatangan manusia atau memperingatkan yang berniat jahat. Pohon-pohon tinggi yang menjulang bagaikan penjaga, akar-akar yang menjalar menutupi jejak, dan suara angin yang berbisik menjadi bagian dari energi mistis yang menghuni hutan.

Cerita rakyat juga menuturkan fenomena gaib yang menakutkan: pemburu yang tidak menghormati hutan sering mendengar suara perempuan menangis, bayangan putih berjalan di permukaan air, atau cahaya samar yang muncul di malam gelap. Petani serakah yang menebang pohon tanpa izin jatuh sakit atau hilang tanpa jejak. Hal-hal ini diyakini sebagai bentuk kutukan yang terus hidup, mengingatkan manusia bahwa alam memiliki keseimbangan yang harus dijaga, dan setiap keserakahan akan dibalas dengan cara yang misterius namun pasti.

Alas Sinang tidak hanya menjadi simbol kengerian, tetapi juga pengingat akan kekuatan cinta dan kesetiaan. Dyahrengganis dan Suta Pradana, yang tubuhnya telah tenggelam di sungai, tetap hadir dalam bentuk energi gaib yang menjaga hutan. Bayangan mereka yang kadang terlihat berjalan di atas air menjadi simbol abadi bahwa cinta sejati melampaui kematian dan waktu. Ki Dusta, yang diyakini berubah menjadi roh penjaga, menjadi lambang perlawanan terhadap ketidakadilan, serta pengingat bahwa keberanian dan pengorbanan tidak pernah hilang begitu saja; ia tetap hidup dalam alam, dalam angin, air, dan pohon.

Seiring berlalunya waktu, warga Indramayu menambahkan ritual dan tradisi yang menghormati Alas Sinang. Sedekah bumi dilakukan untuk memohon keselamatan, panen yang baik, dan perlindungan dari kekuatan gaib. Mereka percaya bahwa menghormati roh-roh penjaga hutan adalah cara menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, serta menghindari murka yang bisa datang tiba-tiba. Ritual ini bukan sekadar adat, tetapi pengakuan terhadap sejarah, pengorbanan, dan cinta yang menjadi inti legenda.

Legenda Alas Sinang pun menyatu dengan identitas budaya Indramayu. Cerita tentang hutan kutukan ini diceritakan dari generasi ke generasi, bukan hanya sebagai kisah menakutkan, tetapi juga sebagai pelajaran moral dan spiritual. Anak-anak diajarkan untuk menghormati alam, memahami arti pengorbanan, dan menegakkan prinsip kesetiaan serta cinta. Orang dewasa belajar untuk tidak serakah, tidak menghancurkan alam demi keuntungan sesaat, dan selalu menghargai hubungan antara manusia, tanah, dan roh-roh penjaga.

Hingga kini, Alas Sinang tetap menjadi tanah yang dihormati dan dijaga dalam ingatan rakyat. Nama Dyahrengganis, Suta Pradana, dan Ki Dusta tetap hidup sebagai simbol cinta, keberanian, dan pengorbanan yang abadi. Setiap orang yang memasuki hutan dengan niat baik akan merasakan aura damai, sedangkan mereka yang serakah atau lalai akan merasakan peringatan yang menakutkan. Dengan demikian, legenda Alas Sinang bukan sekadar cerita masa lalu; ia adalah jejak abadi dalam ingatan rakyat, pengingat bahwa cinta, kesetiaan, dan keberanian bisa menembus kematian, sementara keserakahan dan pengkhianatan selalu berbuah kutukan.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel