Legenda Alas Sinang Bagian 7: Catatan Cakrabuana dalam Carita Purwaka Caruban Nagari
Jejak Sejarah dan Legenda 2: Folklor Cempaka Mulia
Folklor masyarakat Cempaka Mulia memuat kisah-kisah
yang diwariskan turun-temurun, sarat dengan nuansa mistis, sejarah lokal, dan
makna simbolis. Salah satu tokoh sentral yang disebut dalam cerita lisan adalah
Ki Arya Jaya Laksana, seorang
bangsawan pelarian dari Majapahit yang datang setelah mengalami kekalahan
politik. Bersama beberapa keluarga pengikutnya, ia mencari tempat aman untuk
memulai kehidupan baru. Perjalanan mereka berakhir di sebuah kawasan hutan
lebat yang dikelilingi sungai kecil, dengan sebuah pohon cempaka putih besar
berdiri megah di tengah lahan terbuka.
Konon, pohon itu bukan sekadar pohon biasa.
Setiap kali Ki Arya Jaya Laksana dan para pengikutnya membuka lahan baru, meski
jauh dari pohon tersebut, terciumlah wangi bunga cempaka yang segar dan
menenangkan. Padahal pohon cempaka itu hanya satu, dan tidak sedang berbunga
setiap saat. Keanehan ini ditafsirkan sebagai tanda restu leluhur sekaligus pesan bahwa tanah yang
mereka tinggali akan menjadi pusat kehidupan harmonis. Dari pengalaman itulah,
nama Cempaka Mulia lahir,
sebagai simbol kemuliaan, ketentraman, dan kesuburan.
Masyarakat percaya bahwa pohon cempaka putih
keramat itu menjadi tempat orang-orang dahulu bersumpah setia untuk hidup damai
dan saling menolong. Hingga kini, meskipun pohon aslinya sudah lama hilang,
tradisi sumpah setia masih diwariskan dalam bentuk adat “sajen cempaka” pada acara tertentu.
Biasanya dilakukan saat musim panen atau ketika desa hendak mengadakan hajatan
besar, seperti pernikahan massal atau sedekah bumi. Bunga cempaka yang dipetik
dari desa lain akan dibawa, lalu diletakkan di tempat khusus sebagai lambang
keberlanjutan warisan leluhur.
Folklor juga menuturkan bahwa Ki Arya Jaya
Laksana bukan hanya seorang pelarian, tetapi juga seorang pemimpin visioner. Ia
mengajarkan sistem pertanian yang lebih teratur, membagi lahan secara adil,
serta menanamkan nilai gotong-royong. Masyarakat diajak bekerja bersama untuk
membuat irigasi sederhana, menata pemukiman, dan mendirikan balai pertemuan
yang kemudian menjadi cikal-bakal pusat kegiatan desa. Keberadaan pohon cempaka
putih dianggap sebagai saksi semua perjanjian yang dibuat oleh para pendiri
desa.
Selain kisah Ki Arya, folklor lain menyebut
bahwa pohon cempaka putih pernah mengeluarkan cahaya samar pada malam-malam
tertentu. Cahaya itu dipercaya sebagai tanda hadirnya roh leluhur atau penanda
bahwa desa dalam keadaan aman. Anak-anak dulu diceritakan untuk tidak bermain
sembarangan di sekitar tempat pohon itu berdiri, karena diyakini dihuni oleh
makhluk halus penjaga desa. Kepercayaan ini membuat masyarakat semakin
menghormati alam, pohon, dan hutan di sekitar mereka.
Dari perspektif antropologi budaya, folklor
Cempaka Mulia mencerminkan upaya
masyarakat untuk memaknai sejarah migrasi, adaptasi lingkungan, dan pembentukan
identitas sosial. Kehadiran tokoh pelarian Majapahit memberi warna
historis yang menautkan desa dengan peristiwa besar Nusantara. Sementara simbol
pohon cempaka putih memperkuat imajinasi kolektif bahwa tanah yang mereka
tinggali adalah tanah yang diberkahi.
Dengan demikian, folklor Cempaka Mulia bukan
sekadar cerita lama, tetapi juga jembatan
ingatan kolektif yang terus membentuk rasa kebersamaan, solidaritas,
dan spiritualitas masyarakat hingga hari ini.
Kontributor
Akang Marta
Indramayutradisi.com