Bagian 27. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Ratapan di Alas Sinang: Ayah,
Cinta, dan Kehormatan yang Tenggelam
Hutan Alas Sinang sunyi seperti menahan napasnya sendiri. Kabut pagi masih
menggantung rendah, menyelimuti pepohonan dengan lapisan tipis misteri.
Burung-burung yang biasanya berkicau, kini hening, seakan turut merasakan
kesedihan yang baru saja menimpa keluarga sakti ini. Saat kabar itu sampai ke telinga
Ki Dusta, tubuhnya seakan kehilangan kekuatan. Dalam satu langkah, ia jatuh
tersungkur di tanah lembap, daun-daun basah menempel di jubahnya, dan tongkat
pusaka yang selalu ia genggam—simbol kekuatan dan kehormatan keluarganya—patah
dua.
Suaranya pecah, menggema di antara pepohonan yang tinggi:
“Oh, anakku… Dyahrengganis… mengapa kau memilih mati? Suta, mengapa kau
seret putriku dalam tragedi?!”
Setiap kata yang keluar dari bibir Ki Dusta bergetar, penuh duka dan
kemarahan yang tak mampu ia salurkan. Rasa kehilangan itu seperti gelombang
yang menghantam hatinya, menghancurkan setiap harapan dan impian yang ia bangun
untuk putrinya. Angin yang berhembus melalui celah-celah pepohonan seakan
membisikkan jawaban, lembut namun penuh kebenaran: bahwa anaknya telah memilih
jalan sendiri, jalan kehormatan yang tidak bisa diganggu oleh siapa pun, bahkan
oleh dunia atau ayahnya sendiri.
Ki Dusta menunduk, wajahnya tertutup bayangan, matanya merah karena menahan
air mata yang terus mengalir. Ia mengangkat tongkat yang patah, mencoba
menegakkan dirinya, namun tubuhnya lemah. Sementara itu, pikirannya berputar
cepat, mengenang masa-masa ketika Dyahrengganis masih kecil, tertawa riang di
halaman rumah, bermain dengan rambutnya yang hitam legam, mata yang selalu bersinar
cerah. Kenangan itu kini terasa pedih, seperti bayangan yang menari di tengah
kabut hutan yang suram.
Ia tahu, dalam setiap tetes darah yang mengalir di Sungai Alas Sinang, dalam
setiap riak air yang memecah cahaya bulan malam itu, tersimpan keberanian dan
cinta yang tak bisa diukur dengan kata-kata biasa. Dyahrengganis dan Suta telah
memilih mati bersama, bukan karena kelemahan, tetapi karena cinta yang lebih
besar daripada dunia dan takdir yang kejam. Mereka menolak hidup dalam
penindasan, menolak tunduk pada Cakranegara dan pasukannya. Pilihan itu, meski
tragis, adalah puncak kehormatan yang hanya bisa dipahami oleh hati yang tulus
dan berani.
Ki Dusta meraba dada, merasakan kekosongan yang tak bisa diisi. Ia menatap
ke arah Sungai Alas Sinang, tempat putrinya dan Suta hilang. Cahaya pagi
memantul di permukaan air, menciptakan kilau perak yang menyesakkan hati.
Sungai itu kini bukan sekadar aliran air; ia menjadi saksi cinta, keberanian,
dan pengorbanan. Setiap riak adalah doa, setiap pusaran adalah ratapan alam
yang ikut menahan duka.
Dalam keheningan itu, Ki Dusta merasakan kekuatan pusaka yang patah tak lagi
berarti. Selama ini, tongkat itu adalah simbol kekuatannya sebagai seorang
sakti, namun kini ia sadar, kekuatan sejati bukan berasal dari senjata atau
ilmu gaib, melainkan dari keberanian hati yang mampu memilih jalan meski harus
berakhir tragis. Dyahrengganis telah menunjukkan kepadanya bahwa kehormatan dan
cinta bisa lebih kuat dari hidup itu sendiri.
Ia bangkit perlahan, tubuhnya goyah, dan suara ratapannya berubah menjadi
doa:
“Semoga arwah kalian damai, anakku… Suta… Semoga cinta kalian menjadi
legenda yang abadi di hutan ini, di sungai ini, dan di hati siapa pun yang
mengenang. Semoga dunia belajar dari keberanian kalian, bahwa hidup tanpa kehormatan
hanyalah penderitaan.”
Hutan seolah menanggapi. Angin berdesir lembut, dedaunan bergoyang pelan,
dan burung-burung mulai berkicau dengan nada sendu. Segala sesuatu tampak diam
sejenak, menghormati ratapan seorang ayah yang telah menyadari bahwa kehilangan
bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari sebuah legenda.
Hari itu, Ki Dusta duduk di tepi sungai, menatap permukaan air yang bergolak
perlahan, menyaksikan bayangan cinta dan pengorbanan yang tak tergantikan. Ia
tahu, meski tubuh putrinya dan Suta telah tenggelam, kisah mereka tidak akan
hilang. Setiap orang yang mendengar cerita itu akan merasakan getaran
keberanian, kesetiaan, dan cinta yang mampu menembus batas hidup dan mati.
Alas Sinang, yang dulu hanya dikenal sebagai hutan penuh misteri, kini
menjadi saksi tragedi yang abadi: tentang seorang putri bangsawan yang memilih
mati demi cinta, seorang pemuda rakyat jelata yang mengorbankan dirinya demi
janji, dan seorang ayah yang meratapi kehilangan, namun memahami arti sejati
dari kehormatan dan keberanian.
Dengan hati yang berat namun dipenuhi penghormatan, Ki Dusta berdiri. Ia
tahu tragedi ini akan diwariskan dalam setiap bisik angin, dalam riak sungai,
dan dalam legenda yang akan diceritakan turun-temurun. Ratapannya bukan hanya
untuk kehilangan, tetapi juga penghormatan pada cinta dan keberanian yang tak
pernah mati, meski jasad telah tenggelam dalam arus Sungai Alas Sinang.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com