Bagian 15. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Rakyat Terjepit dan Angin
Pangruwatan
Dukuh Cempaka Mulia berubah menjadi lautan api dan asap. Api membakar
rumah-rumah bambu satu per satu, menghanguskan lumbung padi dan peralatan
warga. Asap mengepul tinggi ke langit, menyelimuti pohon cempaka yang biasanya
harum bunganya. Teriakan perempuan dan anak-anak terdengar memilukan, memecah
ketegangan yang sudah bertubi-tubi.
Rakyat Cempaka Mulia mulai terjepit. Meski Ki Koang dan Ki
Brangbang bertarung dengan gagah, jumlah prajurit Cirebon jauh lebih
banyak. Mereka mengepung dari segala arah, membuat penduduk kebingungan mencari
tempat berlindung. Setiap langkah menjadi bahaya; setiap suara langkah kaki
musuh menimbulkan kecemasan.
Di tengah kekacauan itu, Ki Dusta berdiri dengan wajah
murka. Tangannya memegang tongkat pusaka yang diwariskan turun-temurun dari
leluhur. Dengan langkah pasti, ia menancapkan tongkat itu ke tanah berdebu di
alun-alun dukuh.
Dari tanah yang disentuh tongkat pusaka itu, muncul hembusan angin kencang
yang mengguncang segala sesuatu di sekitarnya. Panji-panji Cirebon yang
berkibar tinggi roboh, sementara prajurit yang mencoba mendekat terguncang
langkahnya. Asap api ikut tersapu angin, membuat pandangan musuh terhalang dan
menyebabkan beberapa dari mereka tersandung atau kehilangan arah.
Dalam Carita Jaya Indramayu, momen ini dikenang sebagai “angin
pangruwatan”, hembusan sakti Ki Dusta yang dipercaya mampu menunda
kekalahan dukuh. Angin itu tidak hanya fisik, tetapi diyakini sebagai
manifestasi kekuatan leluhur yang membela tanah dan rakyatnya. Para warga yang
menyaksikan terkesima; beberapa menangis haru, sebagian menunduk sambil memohon
keselamatan.
Namun, legenda juga menekankan bahwa kekuatan gaib itu hanya
sementara. Api tetap membakar rumah-rumah bambu, dan prajurit Cirebon
terus mengepung dari berbagai arah. Rakyat mulai kelelahan; banyak yang luka
dan kehabisan tenaga. Mereka berlari ke sawah dan tepi sungai untuk mencari
perlindungan sementara, sementara Ki Koang dan Ki Brangbang tetap di barisan
depan, menangkis setiap serangan dengan gagah berani.
Di tengah kepanikan itu, Dyahrengganis muncul lagi. Ia
membawa kendi suci berisi air dari rumah leluhur. Air itu dipercikkan ke tanah,
ke arah prajurit, sambil melantunkan doa lirih:
“Wahai roh penunggu bumi, lindungi tanah ini, jangan biarkan darah
rakyat kami terbuang sia-sia.”
Ajaibnya, beberapa prajurit yang terkena percikan air itu kembali kehilangan
pijakan, tersandung akar pohon dan batu. Rakyat percaya, roh leluhur hadir di
antara mereka, menahan langkah musuh, dan memberi kesempatan bagi penduduk
untuk melarikan diri atau menata kembali pertahanan.
Momen ini bukan hanya soal pertempuran fisik, tetapi juga simbol
perlindungan leluhur. Anak-anak yang menonton dari balik rumah yang
terbakar belajar satu hal: keberanian, kesetiaan, dan doa memiliki kekuatan
tersendiri, kadang lebih kuat daripada pedang dan tombak.
Meski begitu, ketegangan tetap tinggi. Ki Dusta tahu bahwa kekuatan gaib
tidak bisa diandalkan selamanya. “Ini hanya memberi kita waktu,” katanya kepada
murid-muridnya. “Tetap tegap, tetap waspada, dan lindungi rakyat. Jika kita
bersatu, kita masih bisa menahan gelombang ini.”
Legenda rakyat menekankan bahwa “angin pangruwatan” adalah
bukti bahwa manusia dan alam bisa bekerja sama, terutama bila ada kesetiaan dan
restu leluhur. Ki Dusta bukan hanya pemimpin perang, tetapi juga perantara
antara dunia manusia dan dunia roh. Rakyat yang bertahan, meski terjepit,
merasa adanya perlindungan gaib memberi mereka harapan, sekalipun kondisi fisik
mereka melemah.
Hari itu, Cempaka Mulia tetap berdiri, meski beberapa rumah hangus dan sawah
sebagian rusak. Rakyat yang selamat menatap tanah mereka dengan tekad baru.
Mereka tahu, peperangan belum usai, tetapi keberanian dan doa bisa menunda
kehancuran, memberi waktu untuk menata kembali pertahanan.
Dalam kisah lisan Indramayu, malam itu selalu diceritakan sebagai pengingat:
bahwa keberanian, kesetiaan, dan restu leluhur bisa menahan tekanan
terbesar sekalipun, tetapi kewaspadaan dan persatuan tetap harus dijaga agar
warisan leluhur tetap aman dari ancaman luar.
Dan begitulah, Rakyat Terjepit dan Angin Pangruwatan
menjadi legenda tersendiri di Cempaka Mulia, mengajarkan generasi berikutnya
tentang keberanian, kepercayaan, dan kekuatan doa serta warisan leluhur dalam
menjaga tanah air.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com