Bagian 28. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Kutukan Alas Sinang: Amarah yang
Menjadi Doa
Ki Dusta duduk bersila di tepi Sungai Alas Sinang. Tubuhnya lelah, penuh
luka, dan gemetar oleh duka yang tak terukur. Mata merahnya menatap arus sungai
yang kini tenang, seperti menantikan sesuatu yang tak kunjung datang. Diamnya
hutan malam itu menambah berat suasana, dedaunan yang biasanya berbisik oleh
angin kini hening, seolah ikut menahan napas menatap ratapannya.
Sambil menggenggam tongkat pusaka yang patah, Ki Dusta menunduk, dan suara
batinnya bergema, pecah di antara pepohonan:
“Wahai bumi, wahai langit, wahai roh leluhur! Saksikan penderitaan ini!”
Suaranya tidak hanya ratapan; ia adalah amarah yang menyala, doa yang
memanggil kekuatan alam dan leluhur untuk menyaksikan tragedi yang baru saja terjadi.
Tubuhnya bergetar, tetapi kata-kata yang keluar begitu tegas dan dipenuhi
energi yang tak terlihat oleh mata manusia biasa. Sungai yang menelan
Dyahrengganis dan Suta kini menjadi saksi. Ki Dusta menegakkan kepalanya,
menatap ke langit yang gelap, dan melanjutkan sumpahnya:
“Bila sungai ini jadi kubur bagi Dyahrengganis dan Suta, maka biarlah tanah
Alas Sinang kutukar dengan kutukan. Tiap darah yang tertumpah di sini, tiap
nafsu serakah yang masuk, biarlah hutan ini menelan mereka selamanya!”
Seketika, angin kencang menyambar, membawa aroma tanah basah dan daun yang
terbakar rasa sakit. Pohon-pohon berguncang, cabang-cabangnya berderak, seolah
ingin menangkis penderitaan yang baru saja menimpa hutan ini. Langit
bergemuruh, dan kilatan petir menyambar dari atas, memecah kegelapan malam,
menyoroti wajah Ki Dusta yang dipenuhi amarah dan duka.
Hutan, yang selama ini hanya menjadi saksi bisu, kini tampak hidup.
Dedauannya berdesir, burung-burung yang tertidur tergagap terbang, dan suara
binatang malam bergema dalam keharmonisan yang menegangkan. Suara alam menjawab
sumpah Ki Dusta, seakan memahami bahwa janji seorang ayah yang patah hati dapat
menyalurkan amarahnya menjadi kekuatan yang luar biasa.
Arus sungai yang sebelumnya tenang mulai bergolak pelan, memantulkan kilau
cahaya bulan yang diterpa petir. Air yang menelan dua jiwa muda itu kini tampak
lebih gelap, seolah menahan rahasia yang akan diwariskan pada generasi
berikutnya. Sungai Alas Sinang berubah dari aliran biasa menjadi lambang
kesedihan, keberanian, dan keadilan yang tak terucapkan.
Ki Dusta menutup matanya sejenak, merasakan energi yang mengalir dari tanah,
dari pepohonan, dari langit yang menyambar. Ia tahu, kutukan ini bukan sekadar
kata-kata, melainkan doa yang lahir dari cinta, kehilangan, dan amarah yang
murni. Ia menaruh seluruh penderitaan dan kesedihannya ke dalam kata-kata itu,
menanamkan kekuatan magis yang akan menahan keserakahan, menegakkan keadilan
alam, dan mengingatkan siapa pun yang mencoba merusak kehormatan Alas Sinang.
Dalam keheningan itu, Ki Dusta bangkit perlahan. Tubuhnya lemah, tapi
tatapannya teguh, dan aura dari sumpahnya menyelimuti hutan. Tanah di
sekelilingnya bergetar pelan, seperti menanggapi panggilan leluhur, dan sungai
yang menelan Dyahrengganis dan Suta kini menjadi peringatan bagi semua yang
ingin mencemari hutan atau menyakiti yang tak bersalah.
Legenda mengatakan, sejak malam itu, Alas Sinang tidak lagi hanya hutan
biasa. Setiap orang yang masuk dengan niat serakah atau jahat akan merasakan
kehadiran kutukan yang menelan mereka. Suara-suara aneh terdengar di antara
pepohonan, cahaya misterius menari di tepi sungai, dan bayangan gelap menyambut
mereka yang tidak hormat pada tanah itu. Semua itu lahir dari amarah Ki Dusta
yang menjadi doa, dari kehilangan seorang ayah, dan dari cinta yang tak pernah
padam pada putrinya serta Suta.
Hingga kini, warga desa di sekitar Alas Sinang masih menceritakan kisah itu
turun-temurun. Mereka berkata bahwa sungai yang tenang menyimpan rahasia
tragis, bahwa hutan yang lebat menyimpan kekuatan yang tak terlihat, dan bahwa
suara angin kadang membawa ratapan seorang ayah yang menyatu dengan alam. Ki
Dusta, meski patah hati, telah mengubah duka menjadi legenda yang menegakkan
keadilan dan menghormati cinta sejati.
Petir terakhir memecah langit, menandai awal kutukan yang abadi. Hutan dan
sungai, yang dulu hanya saksi, kini menjadi pelindung tak terlihat, menjaga
nama Dyahrengganis dan Suta dari dunia yang penuh nafsu dan keserakahan. Amarah
yang menyesakkan hati seorang ayah telah menjadi doa, doa yang mengikat tanah,
air, dan angin, menjadikan Alas Sinang sebagai tempat sakral yang tak bisa
dilanggar sembarangan.
Ki Dusta duduk kembali, menundukkan kepala, tubuhnya lemah, namun hatinya
tenang. Ia tahu anaknya dan Suta telah mencapai kehormatan terakhir. Ia tahu
amarahnya telah menjadi doa yang abadi, menyelimuti Alas Sinang dengan kekuatan
yang lebih besar daripada manusia mana pun. Dan dari saat itu, legenda Alas
Sinang lahir—tentang ayah, cinta, amarah, dan kutukan yang menjadi saksi abadi
bagi keberanian dan pengorbanan.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com