Bagian 2. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Legenda Ki Dusta: Dari Majalengka ke Alas Cempaka
Menurut penuturan para juru kunci tua di Desa Jatibarang Wetan, sosok Ki Dusta bukanlah orang biasa. Ia
datang dari pedalaman Majalengka, dari sebuah keluarga yang masih setia pada
ajaran leluhur dan menjalankan kepercayaan kuno pemuja roh nenek moyang. Dalam
masyarakat kala itu, peran seorang pemimpin spiritual sangat penting. Ia bukan
hanya menjadi penuntun doa, melainkan juga penguat moral, penyembuh, sekaligus
penjaga keseimbangan antara manusia dengan alam.
Nama “Dusta” bagi telinga modern mungkin terdengar janggal, seolah berarti
kebohongan. Namun menurut penafsiran bahasa lama, kata itu justru mengandung
makna mulia: wisesa pangucap,
yakni kekuatan tutur kata. Dari situlah reputasi Ki Dusta berakar. Konon,
setiap kalimat yang diucapkannya bagaikan mantera yang mampu menembus hati.
Orang yang sedang marah bisa mereda mendengarnya. Mereka yang takut bisa
kembali berani setelah diberi nasihat. Bahkan orang sakit merasa ringan
tubuhnya hanya karena Ki Dusta menuturkan doa lembut di telinga mereka.
Cerita rakyat Indramayu juga menyebutkan keistimewaan lain: Ki Dusta mampu memanggil hujan. Dengan sebuah kendi
berisi air, ia membisikkan doa-doa khusus, lalu menaburkan air itu ke tanah.
Tak lama kemudian, langit mendung dan hujan turun, menyuburkan sawah yang
kering. Kisah seperti ini tentu bercampur antara kepercayaan dan simbol, tetapi
jelas menegaskan betapa tinggi wibawa Ki Dusta di mata pengikutnya.
Karena itulah, ketika ia memutuskan meninggalkan tanah asal dan mencari
wilayah baru, sekelompok pengikut setia ikut serta. Rombongan itu terdiri dari
keluarga dan murid-muridnya, yang yakin bahwa di bawah pimpinan Ki Dusta,
mereka akan menemukan tempat hidup yang lebih baik. Perjalanan itu tidak mudah:
mereka harus menembus hutan, melewati sungai, dan bertahan dari berbagai
rintangan. Namun keyakinan mereka kokoh, karena percaya bahwa setiap langkah
sudah dipandu oleh doa dan kesaktian pemimpinnya.
Akhirnya, rombongan itu tiba di sebuah hutan subur di pesisir utara Jawa,
wilayah yang kini dikenal sebagai bagian timur Kabupaten Indramayu. Hutan itu
dipenuhi pohon cempaka putih.
Bunganya harum semerbak, batangnya kuat, dan dalam kepercayaan Jawa kuno, pohon
cempaka diyakini sebagai penghubung antara dunia manusia dengan dunia gaib.
Melihat pertanda itu, Ki Dusta merasa bahwa inilah tanah yang dikehendaki untuk
menjadi permukiman baru.
Ia pun menancapkan tongkatnya di tanah, lalu mengumumkan kepada para pengikutnya:
“Mulai hari ini, tempat ini akan menjadi pedukuhan baru. Kita sebut ia Cempaka Mulia—tanda kemuliaan dan
keteguhan, sebagaimana harum bunga cempaka yang menembus langit.”
Sejak saat itu, Cempaka Mulia tumbuh sebagai pedukuhan dengan ikatan yang
erat antara pemimpin, pengikut, dan alam sekitarnya. Kedatangan Ki Dusta tidak
hanya berarti berdirinya sebuah pemukiman, melainkan juga lahirnya legenda yang
kelak menyatu dalam identitas budaya masyarakat Indramayu.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com