Ads

Legenda Alas Sinang Bagian 5: Dialek Reang sebagai Identitas

 

Warisan Bahasa Komunitas Cempaka Mulia: Dialek Reang sebagai Identitas



Salah satu warisan terpenting dari komunitas Cempaka Mulia bukanlah berupa bangunan megah atau peninggalan fisik, melainkan bahasanya. Di pedukuhan yang berdiri sejak abad ke-15 Masehi ini, masyarakat mengembangkan dialek yang unik, hasil percampuran antara bahasa Sunda dari pedalaman Pajajaran dan bahasa Jawa dari pesisir Cirebon. Dialek tersebut kemudian dikenal dengan sebutan bahasa Indramayu reang, berbeda dengan dialek isun yang lebih dominan di daerah pesisir utara Indramayu.

Bahasa, sebagaimana diyakini oleh para ahli antropologi, adalah cermin dari sejarah dan identitas suatu komunitas. Dalam konteks Cempaka Mulia, kehadiran dialek reang menjadi bukti bagaimana sekelompok masyarakat pelarian, petani huma, tukang kayu, dan pengungsi politik dari berbagai daerah dapat membaur dan menciptakan corak kebudayaan baru.

Menurut folklor Indramayu, perbedaan antara reang dan isun mencerminkan latar belakang sosial masyarakatnya. Dialek reang dihubungkan dengan komunitas pedalaman yang datang dari Pajajaran atau daerah sekitarnya, lalu menetap di hutan Sinang dan berbaur dengan unsur Jawa. Kata “reang” dalam tradisi lisan sering dihubungkan dengan “urang” atau “kami”, yang menegaskan identitas kebersamaan kelompok. Sementara itu, dialek isun lahir di kawasan pesisir yang lebih terbuka terhadap arus perdagangan, migrasi, dan interaksi kosmopolit dengan bangsa asing.

Keunikan bahasa ini memperlihatkan bagaimana Cempaka Mulia menjadi titik temu budaya Sunda dan Jawa, yang kemudian membentuk identitas khas Indramayu. Dialek reang bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga simbol dari perjalanan sejarah sebuah masyarakat yang lahir dari percampuran, konflik, sekaligus kerjasama.

Catatan sejarah mendukung hal ini. Dalam Babad Cirebon disebutkan bahwa wilayah timur Sinang pernah menjadi tempat berdiam para pelarian politik dari Pajajaran yang menolak tunduk pada pengaruh Cirebon. Sebagian dari mereka kemudian menetap secara permanen, membuka lahan, dan membaur dengan para pedagang Jawa dari pesisir. Percampuran inilah yang pada akhirnya melahirkan bahasa peralihan, sebuah dialek yang berbeda dari pusat kekuasaan manapun.

Bahasa reang memiliki ciri khas pada intonasi dan kosakata. Ia tidak sepenuhnya Sunda, tetapi juga tidak sepenuhnya Jawa. Misalnya, kosakata sehari-hari seperti “reang” (kami) menggantikan “urang” dalam Sunda atau “kita” dalam Jawa. Begitu pula dengan gaya tutur yang kerap terdengar lebih keras dan lugas, mencerminkan watak masyarakat pedalaman yang tegas, tetapi tetap lentur ketika berhadapan dengan kosakata Jawa.

Hingga kini, dialek reang masih digunakan di sebagian wilayah Indramayu bagian tengah dan timur. Meskipun generasi muda lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan, dialek ini tetap hidup dalam percakapan sehari-hari, terutama di lingkungan keluarga dan komunitas desa.

Dengan demikian, bahasa reang adalah warisan budaya yang berharga, bukan sekadar sarana komunikasi, tetapi juga penanda sejarah dan identitas masyarakat Cempaka Mulia. Melalui dialek ini, kita bisa membaca jejak percampuran budaya Sunda dan Jawa, sekaligus memahami bagaimana masyarakat Indramayu membentuk dirinya di persimpangan arus besar sejarah Nusantara.

Kontributor

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel