Ads

Bagian 31. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis

 

Kengerian Menimpa Prajurit Cirebon: Bayangan Putih Alas Sinang



Malam itu, Alas Sinang berubah menjadi medan kengerian yang tak terbayangkan. Kabut tebal menyelimuti pepohonan, menyatukan bumi dan langit dalam gelap yang pekat. Pasukan Cirebon, yang sebelumnya berani menembus hutan, kini terhenti di tengah tanah yang seolah hidup. Langkah mereka berat, napas tersengal, dan jantung berdebar tak terkendali.

Tanah di bawah kaki mereka tiba-tiba berubah menjadi lumpur hisap, dingin dan pekat. Satu per satu prajurit tersedot ke dalam bumi, teriakannya bergema ke seluruh hutan, menyatu dengan suara angin yang meraung. Beberapa mencoba menahan diri dengan mencengkeram pohon, tapi cabang-cabang itu menekuk, seolah hutan sendiri menolak kehadiran mereka. Para prajurit berjuang, menggenggam senjata yang tak lagi berguna. Lumpur menelan kaki mereka, dan dalam hitungan detik, beberapa dari mereka lenyap, tubuh mereka tenggelam perlahan ke dalam bumi yang gelap dan basah.

Di antara kabut tebal, muncul sosok bayangan putih. Rambutnya terurai panjang, wajahnya pucat, dan matanya kosong menatap lurus ke arah musuh. Sosok itu bagaikan Dyahrengganis, namun lebih menyeramkan daripada manusia biasa. Aura dingin memancar darinya, menyelimuti udara dan membuat bulu kuduk para prajurit berdiri. Beberapa yang melihat langsung jatuh pingsan, sementara yang lain berteriak ketakutan. Bahkan ada yang mati seketika, wajah mereka membeku dalam ekspresi ketakutan yang murni.

Tumenggung Wirasaba menahan pasukannya. Ia sadar, yang mereka hadapi bukanlah manusia, tetapi kekuatan yang lahir dari kutukan dan ratapan seorang ayah. Hutan dan sungai telah dipenuhi energi yang tak bisa diterima oleh dunia manusia biasa. Napasnya tersengal, dan keringat dingin mengalir di wajahnya. Ia melihat bayangan putih itu menari di antara kabut, gerakannya lembut namun penuh ancaman.

Pangeran Cakranegara, meski marah dan putus asa, maju dengan pedang terhunus. Wajahnya menegang, mata membara oleh amarah dan obsesi.

“Dyah! Itu kau, bukan? Aku akan membawamu pulang, meski jadi hantu sekalipun!” teriaknya lantang.

Namun saat ia melangkah mendekat, bayangan putih itu tiba-tiba menghilang. Udara di sekitarnya berputar, kabut menelan tubuhnya, dan pusaran arus sungai muncul di hadapannya. Pedang Cakranegara terlepas dari genggaman, jatuh berderet di tanah basah. Tubuhnya terseret arus yang tiba-tiba deras, memutar ke dalam pusaran sungai yang bergolak. Raungannya, yang sebelumnya menakutkan, hilang ditelan air, berganti dengan suara gemuruh alam yang menegaskan kekuatan tak kasatmata.

Tumenggung Wirasaba hanya bisa terpaku, matanya terbeliak. Ia menyadari kengerian yang mereka hadapi bukan lagi sekadar manusia—Ki Dusta telah mengubah hutan dan sungai menjadi kekuatan yang hidup. Setiap tetesan darah dan doa dari ayah itu telah membangkitkan energi yang memadukan alam, roh, dan kutukan. Mereka kini menghadapi sebuah kekuatan sakral yang tidak bisa ditaklukkan dengan senjata atau strategi manusia biasa.

Bayangan putih itu muncul kembali, melayang di atas arus sungai. Kali ini, ia tampak menatap langsung ke arah setiap prajurit, matanya yang kosong menembus jiwa mereka. Lumpur di kaki mereka beriak seperti diseret oleh tangan tak terlihat, pohon-pohon menekuk dan cabang-cabangnya menutup jalan mundur. Udara dipenuhi bisikan, suara lembut namun menusuk, seolah ratusan roh berbisik serentak: “Tinggalkan hutan ini, atau hilang selamanya.”

Cakranegara, meski terguncang, mencoba meraih bayangan itu. Arus menyambar kakinya, tubuhnya terhuyung, dan tanah di bawahnya seakan mengunyah langkahnya. Ia berteriak keras, mencoba melawan pusaran yang tak kasatmata. Tetapi sungai, lumpur, kabut, dan pohon-pohon bekerja bersama, menegaskan bahwa tidak ada yang bisa melawan kutukan Alas Sinang.

Beberapa prajurit lain berbalik, mencoba lari, tapi kabut tebal menelan arah mereka. Bayangan putih itu terus mengikuti gerakan mereka, menimbulkan ketakutan yang murni dan mematikan. Setiap napas mereka berat, dada terasa sesak, dan tubuh terasa seolah ditarik ke bawah oleh tangan tak terlihat. Beberapa jatuh pingsan, sementara yang lain menjerit dan terhuyung sebelum akhirnya terseret ke dalam lumpur atau pusaran air.

Tumenggung Wirasaba, yang selama ini dikenal tenang dan bijak, kini hanya bisa menunduk, menyadari bahwa hutan dan sungai telah menjadi makhluk hidup yang menolak penindasan dan keserakahan. Ia menghela napas panjang, menundukkan kepala, dan memerintahkan mundur. Namun hanya beberapa yang berhasil keluar dari tepi hutan, membawa cerita yang akan menjadi legenda kelam tentang Alas Sinang.

Bayangan putih itu menari perlahan di permukaan sungai, kemudian perlahan memudar menjadi cahaya yang menyatu dengan arus air. Arus sungai bergolak sebentar, kemudian kembali tenang, namun aura sakral dan menakutkan tetap terasa. Hutan berderak, kabut menggulung, dan seluruh makhluk yang tinggal di Alas Sinang menegaskan bahwa tempat itu bukan lagi sekadar hutan; ia telah menjadi saksi dari cinta, pengorbanan, dan kutukan yang tak terpisahkan.

Legenda menyebar dari desa ke desa: siapa pun yang mencoba menentang kehormatan, kesucian, atau mencemari Alas Sinang, akan menghadapi bayangan putih yang menakutkan, arus sungai yang mematikan, dan hutan yang hidup. Kisah itu menjadi pengingat bahwa kekuatan alam dan doa seorang ayah mampu melampaui batas manusia, menjadikan Alas Sinang tempat suci yang menakutkan bagi siapa pun yang tidak menghormatinya.

Malam itu, kengerian bagi pasukan Cirebon menjadi pelajaran abadi. Bukan senjata, bukan jumlah prajurit, yang menentukan kemenangan, tetapi keberanian, cinta, dan kekuatan sakral yang lahir dari pengorbanan dan kesetiaan. Bayangan putih, arus sungai, dan hutan yang hidup tetap menjadi legenda, menunggu siapa pun yang berani menentang kehormatan Dyahrengganis, Suta Pradana, dan ayah mereka, Ki Dusta.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel