Bagian 13. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Fajar Berdarah di Cempaka Mulia:
Serangan Pertama Cirebon
Fajar baru saja menyingkap tirai malam ketika suara tabuhan bedug
terdengar menggema dari kejauhan. Bunyi itu bukan sekadar panggilan, melainkan
tanda awal malapetaka yang akan menimpa Cempaka Mulia. Debu
jalan beterbangan, derap kuda terdengar makin dekat, dan panji-panji bulan
sabit Cirebon berkibar gagah di bawah sinar mentari pagi yang pertama.
Prajurit-prajurit Cirebon menyerbu, dipimpin langsung oleh Ki
Tumenggung Wirasaba. Dalam catatan Keraton Kanoman, kedatangan mereka
dimaksudkan untuk “menertibkan” dukuh, namun dalam kisah lisan rakyat
Indramayu, peristiwa itu digambarkan lebih dramatis: upaya paksa untuk
menaklukkan Ki Dusta dan merebut Dyahrengganis,
putrinya yang cantik bagaikan kembang cempaka.
Ki Dusta, yang telah lama mengantisipasi kemungkinan serangan, segera
memanggil para murid dan pemuda dukuh. Ki Koang berdiri di
barisan depan, tubuhnya tegap dan mata tajam, pedang besar dari besi hitam
digenggam erat. Ki Brangbang memekikkan semangat dengan suara
lantang yang bergema di lembah dan hutan sekitar:
“Hei wong Cempaka Mulia! Iki tanah kita, iki warisan leluhur! Aja
wedi! Aja mundur! Sing wani mati, bakal langgeng urip ing pangkuan para
karuhun!”
Para pemuda menatap murid-murid Ki Dusta, dada mereka berdebar, namun
semangat tidak surut. Semua menyadari bahwa mereka bukan sekadar mempertahankan
tanah dan harta, tetapi harga diri, adat, dan kehormatan leluhur.
Prajurit Cirebon menyerang dengan tombak berkilau dan pedang yang menebar
bayangan panjang di tanah berdebu. Jerit perintah bercampur dengan tangisan
anak-anak yang terbangun dari gubuk mereka. Angin membawa aroma kemenyan dari
ritual leluhur, seakan alam sendiri menegaskan bahwa tanah ini dijaga oleh
roh-roh karuhun.
Bentrok tak terhindarkan. Ki Koang memimpin barisan depan, menangkis tombak
musuh dengan pedangnya, sementara Ki Brangbang menjerit dan mengatur formasi.
Pepohonan cempaka bergemerisik, daun-daun beterbangan, seolah ikut dalam medan
perang. Penduduk yang bukan pejuang berlari ke gubuk-gubuk bambu, namun ada
yang berdiri di tepi, menabur bunga dan membakar dupa, memohon keselamatan.
Dalam catatan lisan, diceritakan bahwa saat itu Dyahrengganis
berada di pendopo, matanya basah namun wajahnya tetap tenang. Ia tahu, meski
hatinya bergejolak karena takut akan keselamatan ayah dan murid-muridnya, ia
tidak bisa menampakkan kepanikan. Dalam legenda, dikisahkan bahwa saat
tangannya menyentuh kendi berisi air suci leluhur, tanah di sekelilingnya
tampak bergetar, seolah memberi kekuatan bagi para pejuang.
Pertempuran berlangsung berjam-jam. Cempaka Mulia yang biasanya damai kini
menjadi medan perang yang memekakkan telinga. Jerit prajurit bercampur dengan
suara pedang beradu dan teriakan rakyat. Banyak yang terluka, namun semangat
pertahanan tidak surut. Ki Dusta berdiri di tengah, matanya penuh ketenangan,
sesekali mengucapkan mantra kuno yang membuat beberapa prajurit Cirebon
terhenti sejenak, seolah ada kekuatan gaib yang melingkupi dukuh itu.
Rakyat percaya, malam sebelumnya, arwah leluhur telah mengingatkan Ki Dusta
tentang bahaya pengkhianatan Jaka Lodra. Bisik-bisik hutan di Alas Sinang pun
menjadi saksi, mengingatkan bahwa pengkhianatan dari dalam bisa membawa musibah
besar. Beberapa warga menceritakan bahwa ketika tombak Cirebon menghantam
tanah, terdengar suara lirih memanggil nama pengkhianat, membuat Jaka Lodra
sendiri gemetar ketakutan.
Ketika matahari naik ke puncak langit, bentrokan pertama akhirnya mereda.
Banyak prajurit Cirebon terluka, beberapa mundur, dan para pejuang Cempaka
Mulia berdiri lelah namun tegap. Ki Dusta menatap sekeliling, murid-muridnya
masih berdiri gagah, meski berdarah dan lecet.
Legenda mencatat, fajar berdarah itu menjadi titik awal perjuangan
Cempaka Mulia, ketika tanah, darah, dan kehormatan bersatu dalam satu
sumpah: tidak akan menyerah pada kekuatan luar, meski ancaman datang
dari kerajaan besar sekalipun.
Dan begitulah, serangan pertama itu menjadi legenda, diceritakan
turun-temurun di desa-desa sekitar, bukan hanya sebagai kisah peperangan, tetapi
juga sebagai pengingat bahwa keberanian, kesetiaan, dan restu leluhur
adalah tameng paling kuat bagi sebuah komunitas rakyat.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com