Bagian 10. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Lamaran Pangeran Cakranegara: Cinta, Gengsi, dan Awal Bara Konflik
Di tengah
ketegangan politik yang semakin meruncing antara Cirebon dan Cempaka Mulia,
muncullah persoalan lain yang menambah bara di atas sekam. Persoalan itu bukan
tentang tanah, pusaka, atau kedaulatan, melainkan tentang cinta dan harga diri.
Kecantikan
Nyai Dyahrengganis, putri Ki Dusta, telah lama menjadi buah bibir. Parasnya
disebut-sebut bagaikan bulan purnama yang turun ke bumi, tatapannya menyejukkan
laksana embun pagi, sementara tutur katanya lembut namun tegas seperti aliran
sungai. Berita tentang kecantikannya akhirnya sampai ke telinga seorang
bangsawan dari Cirebon, Pangeran Cakranegara, seorang keponakan jauh dari Sunan
Gunung Jati.
Pangeran
itu dikenal ambisius dan penuh wibawa, terbiasa mendapatkan apa pun yang ia
inginkan. Maka, ketika mendengar kabar tentang Dyahrengganis, hatinya tergugah
bukan hanya oleh pesona sang gadis, tetapi juga oleh gengsi politik: jika ia
berhasil menikahi putri Ki Dusta, maka Cempaka Mulia otomatis akan terikat
dalam ikatan kekeluargaan dengan Cirebon.
Suatu
sore, langit barat dihiasi cahaya keemasan. Dari kejauhan, debu jalan
menandakan rombongan besar tengah menuju Cempaka Mulia. Rombongan itu terdiri atas
puluhan prajurit berkuda, diiringi abdi dalem yang memikul seserahan: keris
pusaka berbalut kain kuning, perhiasan emas berkilauan, kain sutra dari Demak,
serta kendi perak berisi minyak wangi dari Arab. Di barisan depan, berdiri
seorang utusan agung yang ditunjuk langsung oleh Pangeran Cakranegara.
Mereka
disambut di pendopo kayu milik Ki Dusta. Udara terasa berat, seolah alam pun
menyadari bahwa peristiwa besar sedang berlangsung. Setelah memberi salam,
utusan itu menyampaikan maksud kedatangan dengan suara lantang.
“Ki
Dusta,” katanya, “kami datang membawa lamaran dari junjungan kami, Pangeran
Cakranegara. Beliau terpikat oleh kecantikan Nyai Dyahrengganis. Demi
memuliakan lamaran ini, kami membawa persembahan pusaka, emas, sutra, dan
wangi-wangian. Jika lamaran ini diterima, maka hubungan Cirebon dan Cempaka
Mulia akan terikat erat, ibarat bulan dan bintang yang tak terpisahkan.”
Suasana
pendopo hening. Para tetua desa saling pandang, sementara rakyat yang
menyaksikan menahan napas. Lamaran itu jelas bukan hanya soal pernikahan,
tetapi juga menyangkut posisi politik Cempaka Mulia.
Ki Dusta,
dengan wajah teduh namun tegas, menjawab setelah lama terdiam.
“Anakku Dyahrengganis belum waktunya menikah. Lagipula, aku tidak bisa
memutuskan jodoh atas kehendakku semata. Dyahrengganis harus memilih jalannya
sendiri. Jodoh adalah perkara hati, bukan perkara titah.”
Utusan
itu terperanjat. Ia mencoba menahan rasa tersinggung, namun nadanya meninggi.
“Tuan Ki Dusta, ini bukan lamaran biasa. Ini adalah titah seorang pangeran.
Penolakan paduka bisa dianggap penghinaan bagi keluarga agung Cirebon. Apakah
paduka berani menolak kehendak keraton?”
Ki Dusta
menatap tajam, namun suaranya tetap tenang.
“Lebih baik aku dianggap hina, daripada memaksa putriku menjalani hidup tanpa
cinta. Bagiku, pernikahan adalah restu hati, bukan sekadar ikatan politik.”
Kata-kata
itu menggema di pendopo, bagai denting gamelan yang dipukul keras. Para saksi
merasa kagum sekaligus takut: kagum akan keberanian Ki Dusta menegakkan
prinsip, namun takut akan murka yang mungkin lahir dari penolakan itu.
Utusan
Cirebon akhirnya pulang dengan wajah muram, membawa kabar pahit ke telinga
Pangeran Cakranegara. Mendengar penolakan itu, sang pangeran meledak dalam
amarah. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak. Baginya, tidak ada seorang pun
yang pantas menolak kehendak seorang bangsawan, apalagi hanya seorang kepala
dukuh di pesisir.
“Jika ia
tidak mau menyerahkan Dyahrengganis secara terhormat,” ujar Cakranegara dengan
mata menyala, “maka aku akan merebutnya dengan cara yang lain. Tidak ada bunga
yang indah tanpa harus dipetik. Dan aku, Cakranegara, tidak akan membiarkan
bunga itu layu di kebun terpencil!”
Sejak
saat itu, sumpah serapah Pangeran Cakranegara menjadi bara yang siap membakar.
Lamaran yang ditolak telah berubah menjadi dendam pribadi. Para abdinya mulai
merancang siasat: ada yang menyarankan penculikan, ada pula yang berbisik untuk
menekan Cempaka Mulia dengan kekuatan pasukan.
Bagi
rakyat Cempaka Mulia, kabar penolakan lamaran itu menjadi pembicaraan panjang.
Ada yang mendukung Ki Dusta karena mengutamakan kebebasan anak gadisnya. Ada
pula yang khawatir, bahwa penolakan itu hanya akan mempercepat benturan dengan
Cirebon. Di tengah keresahan itu, Dyahrengganis sendiri tetap tenang, seolah
hatinya sudah pasrah pada jalan hidup yang akan ditempuh.
Legenda
kemudian mencatat bahwa sejak lamaran ditolak, bayangan konflik semakin pekat. Fitnah
yang telah ditabur Jaka Lodra kini mendapat bahan bakar baru: dendam seorang
bangsawan yang merasa dipermalukan. Cempaka Mulia tidak hanya menghadapi
tuduhan politik, tetapi juga ancaman yang bersumber dari persoalan cinta dan
gengsi.
Dan dari
sinilah, kisah tragis antara cinta, fitnah, dan perang mulai menemukan
jalannya.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com