Bagian 23. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Janji di Senja Fajar: Kisah Suta Pradana dan Dyahrengganis
Menjelang
fajar, ketika kabut pagi masih menutupi lembah-lembah dan pepohonan Alas Sinang
berbisik lirih oleh angin, Suta Pradana berjalan pelan menuju pendapa tempat
Dyahrengganis menunggu. Suara langkahnya nyaris tenggelam oleh kicau burung
yang masih terlelap, dan aroma tanah basah menyelimuti udara. Matahari belum
sepenuhnya muncul, tapi cahaya pucatnya menembus celah-celah pepohonan,
menciptakan bayangan yang menari-nari di tanah.
Suta
Pradana, pemuda sederhana dari rakyat jelata, menatap sosok Dyahrengganis yang
berdiri di teras pendapa. Hatinya bergetar, bukan karena takut pada dunia,
melainkan karena takut kehilangan. Dengan suara bergetar, ia memulai perkataan
yang selama ini tertahan di dada:
“Dyah,
dengarlah. Aku bukan bangsawan, aku hanya rakyat jelata. Tapi cintaku padamu
lebih kuat dari darah biru Cakranegara. Bila besok aku harus mati, aku ingin
kau tahu: aku rela. Rela menanggung semua penderitaan demi kebahagiaanmu, demi
melihat senyum di wajahmu, meski itu hanya sesaat sebelum gelap menelanku.”
Dyahrengganis
menundukkan wajahnya, menahan tangis yang membuncah. Ia menggenggam tangan Suta
dengan erat, menempelkan di dadanya, seolah ingin menyimpan detak jantungnya
selamanya. Suara desahnya pelan namun tegas:
“Kalau
kau mati, aku pun ingin mati. Lebih baik kita tenggelam bersama, daripada
dipisahkan oleh takdir kejam ini. Aku tak mau hidup dalam dunia yang hanya
menyisakan bayanganmu, Suta. Kau adalah nyala lilin yang menerangi hatiku, dan
tanpa cahaya itu, aku hanyalah gelap yang tersesat.”
Mereka
berdua berpelukan, lama dan hangat, seakan menantang angin pagi yang dingin.
Pohon-pohon di sekeliling seakan menundukkan rantingnya, menyaksikan janji yang
diucapkan dengan air mata dan getaran jiwa. Dalam hening itu, terdengar bisikan
alam—daun yang bergesekan, burung-burung yang terbang malu-malu—seolah ikut
menyimpan rahasia cinta mereka.
Dari
kejauhan, Ki Dusta menatap mereka dengan mata yang sembab. Tua dan bijaksana,
hatinya perih menahan rasa sakit yang tak mampu ia ucapkan. Ia tahu cinta
putrinya tulus, murni seperti embun pagi, tetapi ia juga sadar bahwa takdir
telah menulis jalan yang getir bagi anaknya. Takdir yang tak bisa dihindari,
yang bisa memisahkan dua hati meski mereka saling mencinta. Ki Dusta menarik
napas panjang, menundukkan wajahnya, dan berbisik dalam hati, “Anakku, jika
takdir memisahkan kalian, semoga cahaya cinta ini tetap menyala dalam hatimu
selamanya.”
Malam
sebelumnya, Suta Pradana telah duduk di pinggir sungai kecil dekat desa,
merenungi langkahnya yang tak bisa dihindari. Sungai itu berkilau diterpa
cahaya bulan, menampakkan bayangan dirinya yang kecil di dunia yang luas ini.
Ia menatap air yang mengalir, seakan menanyakan: apakah dunia ini adil bagi
cinta sederhana seperti dirinya? Namun keyakinan akan cintanya pada
Dyahrengganis meneguhkan hati. Ia tahu, meski hidupnya pendek, cintanya akan
abadi, seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti, meski batu dan rintangan
mencoba menghalanginya.
Pagi itu,
aroma teh melati dari dapur pendapa menyapa indera mereka, namun tak satu pun
di antara mereka yang mampu meneguknya. Hanya ada udara yang basah, desah
angin, dan suara hati yang berbisik lirih tentang keberanian dan kesetiaan.
Mereka berdua saling menatap, memahami tanpa kata, merasakan bahwa momen ini
adalah hadiah sekaligus kutukan dari semesta.
Suta
Pradana meraih kain selendang Dyahrengganis, mengikatnya di pergelangan
tangannya sebagai simbol janji. Dyahrengganis menatap mata Suta, bergetar,
namun ia mengangguk pelan. Dalam hati mereka, janji itu lebih berharga daripada
kehidupan sendiri. Janji yang akan mereka simpan, meski badai dan gelap mencoba
memisahkan.
Ki Dusta,
meski berat menahan air mata, berbalik perlahan. Ia tahu tidak ada yang bisa ia
lakukan selain membiarkan dua hati itu memilih jalan mereka sendiri. Dalam
diam, ia berdoa agar semesta memberi perlindungan, agar cinta tulus itu tetap
murni dan tak ternoda oleh dunia yang kejam.
Fajar pun
akhirnya muncul, membelah kabut dengan sinar keemasan yang lembut. Dalam cahaya
itu, Suta Pradana dan Dyahrengganis berpegangan tangan, menatap masa depan yang
tak pasti, namun penuh keberanian. Janji mereka bukan sekadar kata, tetapi doa
dan tekad yang tertulis di langit, di daun-daun yang bergoyang, dan di sungai
yang terus mengalir: bahwa cinta sejati tak mengenal kasta, tak mengenal batas,
dan tak akan pernah padam, meski dunia berusaha memisahkannya.
Dan di
sanalah, di senja fajar itu, dua hati bersatu dalam diam dan janji, menantang
takdir yang kejam, menorehkan kisah mereka ke dalam legenda yang akan dikenang
oleh angin, pepohonan, dan generasi yang akan datang.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com