Ads

Bagian 3. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis

 

Cempaka Mulia: Permukiman yang Dijaga Doa dan Kesetiaan



Awalnya, Cempaka Mulia hanyalah sebuah pemukiman sederhana di tepi sungai kecil. Beberapa gubuk bambu berdiri di antara semak dan pepohonan, menjadi tempat tinggal bagi rombongan Ki Dusta yang baru tiba. Namun, tanah itu cepat berkembang. Dengan wibawa dan kepemimpinannya, Ki Dusta mengubah kawasan hutan menjadi pedukuhan yang teratur. Ia mengatur pembagian sawah agar setiap keluarga mendapat tanah garapan, mengajarkan tata upacara penghormatan kepada roh leluhur, sekaligus menjalin hubungan harmonis dengan desa-desa tetangga.

Setiap kali awal musim tanam tiba, masyarakat berkumpul di ladang. Ki Dusta memimpin sebuah ritual yang kini hanya bisa dikenang melalui cerita lisan: upacara sesajen padi. Di tengah hamparan sawah, ia menancapkan sebatang bambu muda, menghiasinya dengan janur kuning yang melambai tertiup angin, lalu menyembelih ayam putih. Darah ayam itu diteteskan ke tanah, sementara doa-doa lirih meluncur dari bibir Ki Dusta. Ia memohon pada roh penunggu bumi agar menjaga tanaman padi dari hama dan memberi panen berlimpah.

Bagi masyarakat, upacara itu lebih dari sekadar ritual. Mereka percaya bahwa selama Ki Dusta memimpin doa, sawah terlindung dari segala mara bahaya. Hama yang biasanya merusak padi diyakini enggan mendekat. Alam seakan tunduk pada kekuatan tutur kata yang diwariskan kepada Ki Dusta sejak leluhurnya. Maka, setiap musim tanam menjadi perayaan kecil: pesta harapan, doa, dan kebersamaan.

Namun, Ki Dusta tidak bekerja sendirian. Ia memiliki dua murid utama yang menjadi tangan kanannya: Ki Koang dan Ki Brangbang. Kedua murid ini berbeda watak, namun sama-sama disegani oleh masyarakat.

Ki Koang bertubuh tinggi besar, dengan mata yang tajam menyorot laksana elang. Dialah penjaga batas hutan, memastikan tidak ada perampok atau penyusup yang mengganggu. Banyak kisah beredar bahwa sekali tatapan mata Ki Koang saja mampu membuat orang jahat gemetar. Ia jarang bicara, tetapi ketegasan tubuhnya sudah cukup menjadi peringatan.

Berbeda dengan Ki Koang, Ki Brangbang dikenal lantang dan keras kepala. Suaranya menggema jauh, dan ia sering menggunakan keperkasaannya untuk mengatur kerja gotong-royong. Penduduk mungkin kerap berselisih dengan sifat kerasnya, tetapi pada akhirnya mereka tetap menghormati karena tahu bahwa di balik sikap garang itu, Ki Brangbang sangat setia pada gurunya. Tanpa pengawasan Ki Brangbang, ladang, pematang, dan saluran air tidak akan teratur rapi.

Dengan perpaduan kepemimpinan Ki Dusta, kewibawaan Ki Koang, dan ketegasan Ki Brangbang, Cempaka Mulia tumbuh menjadi pedukuhan yang dihormati. Warga hidup dalam semangat kebersamaan, dengan adat dan doa sebagai penopang. Seiring waktu, kisah pembangunan ini diwariskan bukan hanya sebagai sejarah, tetapi juga sebagai legenda—bahwa pedukuhan itu berdiri berkat doa yang membumi, kesetiaan murid-murid, dan keyakinan pada kekuatan leluhur.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel