Refleksi: Kekuasaan sebagai Ujian Karakter
Refleksi: Kekuasaan sebagai Ujian Karakter
Kekuatan
politik bukan sekadar alat untuk mengatur jalannya pemerintahan, tetapi juga
menjadi ujian karakter para pemimpin. Arahan mantan Presiden Jokowi kepada
relawan atau arah politik tertentu bisa dipahami dari dua perspektif yang
berbeda. Dari sisi positif, langkah tersebut dapat menciptakan stabilitas dan
keberlanjutan pemerintahan, memberikan kepastian bagi elite politik, serta
memastikan bahwa program-program strategis tetap berjalan konsisten. Dalam konteks
ini, pengalaman dan reputasi seorang mantan presiden menjadi aset penting untuk
menjaga kesinambungan kebijakan publik.
Namun,
dari sisi lain, arahan semacam itu juga menimbulkan risiko etika dan persepsi
negatif di mata publik. Jika pengaruh politik digunakan terutama untuk
kepentingan keluarga atau kelompok tertentu, hal ini bisa dipandang sebagai
praktik nepotisme. Masyarakat dapat menilai bahwa kesempatan berpartisipasi
dalam politik menjadi terbatas, sementara prinsip meritokrasi tergeser oleh jaringan
kekuasaan pribadi.
Demokrasi
yang sehat menuntut keseimbangan antara strategi politik dan tanggung jawab
moral. Pengaruh politik harus selalu diarahkan untuk kepentingan rakyat, bukan
semata mempertahankan kekuasaan atau mengamankan posisi elite. Etika
kepemimpinan menjadi kunci agar demokrasi tetap berfungsi sebagai mekanisme
pelayanan publik, bukan arena perebutan kekuasaan tanpa batas.
Kekuatan politik bukan sekadar alat mengatur pemerintahan, tapi ujian
karakter. Arahan Jokowi bisa dilihat dari dua sisi:
·
Stabilitas dan keberlanjutan pemerintahan.
·
Potensi nepotisme dan persepsi negatif di mata publik.
Demokrasi yang sehat menuntut keseimbangan
antara strategi politik dan tanggung jawab moral.
Kontributor
SM
Indramayutradisi.com