Ads

Bagian 36. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis

 

Fenomena Mistis di Alas Sinang: Alas Sinang dan Bayangan Cinta yang Abadi



Sejak abad itu, Alas Sinang tidak lagi sekadar hutan biasa. Legenda tentang Ki Dusta, Dyahrengganis, Suta Pradana, dan murid-muridnya terus hidup, menjadi peringatan dan misteri yang diwariskan dari generasi ke generasi. Warga pedukuhan sekitar, yang selamat dari tragedi, selalu menceritakan kisah itu dengan nada lirih, memperingatkan siapa pun yang mencoba mendekati hutan tanpa rasa hormat.

Hutan yang dulu hijau dan damai kini dipenuhi aura gaib yang tak terlihat oleh mata manusia biasa. Sungai yang menjadi saksi pengorbanan Dyahrengganis dan Suta Pradana tetap mengalir jernih, namun setiap riaknya dipenuhi bisikan misterius. Mereka yang berani mendekat sering mendengar suara perempuan menangis, lirih namun menusuk jiwa, terdengar seakan berasal dari tepi sungai yang sunyi. Banyak pemburu atau penebang kayu yang masuk ke hutan tanpa izin mengaku merasa diikuti bayangan tak kasat mata, dan malam mereka tak pernah sama lagi dengan yang sebelumnya.

Di antara kabut tebal dan pepohonan tinggi, beberapa orang melihat fenomena yang lebih menakjubkan sekaligus menakutkan. Sepasang bayangan berjalan berpegangan tangan di atas permukaan air sungai, seolah melayang di atas dunia manusia. Para saksi percaya, itu adalah arwah Dyahrengganis dan Suta Pradana, tetap setia pada janji cinta mereka meski telah meninggalkan dunia ini. Fenomena itu menimbulkan ketakjuban sekaligus rasa takut. Siapa pun yang melihatnya akan terdiam, merasa kecil di hadapan kekuatan cinta dan pengorbanan yang melampaui batas manusia.

Petani atau penebang pohon yang serakah dan sembarangan menebang tanpa izin konon mengalami akibat yang mengerikan. Beberapa jatuh sakit mendadak, tubuhnya membusuk oleh penyakit yang tak diketahui asal-usulnya. Ada pula yang hilang begitu saja, seperti ditelan bumi, meninggalkan lubang kosong di tanah yang sebelumnya mereka pijak. Kisah-kisah ini menyebar dari mulut ke mulut, menegaskan bahwa Alas Sinang bukan sekadar hutan biasa, tetapi rumah bagi roh-roh yang menjaga alam dan menegakkan keadilan yang lahir dari pengorbanan manusia.

Hingga abad ke-19, catatan kolonial Belanda mencatat Alas Sinang sebagai “hutan larangan”, tempat yang penuh dengan kejadian aneh dan sulit dijelaskan secara logika. Penjelajah dan pejabat kolonial yang mencoba masuk melaporkan suara-suara gaib, bayangan misterius, dan fenomena alam yang tampak seakan menolak kehadiran manusia. Sungai beriak sendiri, kabut menebal secara tiba-tiba, dan pepohonan menutup jalan tanpa alasan yang masuk akal. Bahkan mereka yang membawa niat baik pun merasakan hawa berbeda, seolah dihormati dan diperingatkan oleh roh-roh penjaga hutan.

Orang-orang desa percaya bahwa kutukan yang diwariskan Ki Dusta, perpaduan doa murid-muridnya, dan pengorbanan Dyahrengganis serta Suta Pradana telah menjadikan Alas Sinang suci sekaligus menakutkan. Setiap hembusan angin, setiap riak sungai, dan setiap daun yang jatuh bagaikan bisikan roh-roh yang menjaga hutan. Alam menjadi cermin bagi manusia: siapa yang datang dengan niat buruk akan menerima murka, sementara yang datang dengan niat baik akan merasakan kedamaian dan perlindungan.

Legenda ini juga menjadi pengingat tentang cinta dan kesetiaan. Kisah Dyahrengganis dan Suta Pradana mengajarkan bahwa janji yang lahir dari hati murni tidak akan sirna meski tubuh sudah hilang. Mereka tetap hadir dalam bentuk energi yang menyatu dengan hutan, sungai, dan tanah Alas Sinang. Bayangan mereka di atas air sungai menjadi simbol cinta yang abadi, tetap menjaga hutan dari serakahnya manusia.

Dari generasi ke generasi, warga desa menambahkan detail baru pada legenda ini, menjadikannya kaya akan nuansa mistis dan peringatan moral. Anak-anak diajarkan untuk menghormati hutan, menundukkan kepala saat melewati sungai, dan tidak merusak pepohonan atau mengusik kedamaian alam. Orang dewasa pun belajar, bahwa penghormatan terhadap alam dan sejarahnya adalah kunci untuk hidup selaras dengan kekuatan yang lebih besar.

Alas Sinang kini bukan sekadar hutan yang menakutkan. Ia adalah simbol kekuatan yang lahir dari pengorbanan, cinta, dan kesetiaan. Sungai, pohon, dan kabut menjadi pengingat abadi bahwa manusia tidak boleh mengabaikan sejarah dan roh yang menjaga alam. Fenomena mistis yang terlihat dari jauh hanyalah sebagian kecil dari energi yang terus hidup, menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia gaib.

Dan hingga kini, setiap orang yang mendengar kisah Alas Sinang akan menundukkan kepala, menghormati hutan, dan berbisik pelan: “Dyahrengganis, Suta Pradana, dan Ki Dusta, kami datang dengan niat baik.” Sungai pun beriak lembut, pepohonan menunduk, dan kabut bergerak perlahan, seolah menyambut kedatangan mereka. Legenda itu hidup, tidak hanya dalam cerita, tetapi juga dalam setiap bisikan angin, setiap riak air, dan setiap dedaunan yang gugur, menegaskan bahwa cinta, pengorbanan, dan kesetiaan abadi di Alas Sinang.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel