Bagian 37. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Alas Sinang: Simbol Perlawanan dan Cinta Abadi
Legenda
Alas Sinang, meski lahir dari tragedi, tetap hidup di hati masyarakat sebagai
simbol perlawanan dan cinta yang tak tergoyahkan. Kisah Ki Dusta,
Dyahrengganis, dan Suta Pradana tidak hanya menceritakan peristiwa masa lalu,
tetapi juga menjadi pelajaran abadi tentang keberanian, kesetiaan, dan
konsekuensi dari keserakahan manusia.
Ki Dusta,
guru sakti yang rela mengorbankan segalanya demi murid dan putrinya, menjadi
lambang perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas. Pasukan Cirebon yang
menyerbu Alas Sinang bukan hanya dihadapi oleh pedang dan mantera, tetapi juga
oleh keyakinan yang teguh bahwa kebenaran dan kehormatan lebih berharga
daripada hidup yang tunduk pada tirani. Warga desa menuturkan bahwa Ki Dusta
tidak hanya melawan musuh fisik, tetapi juga menghadapi kekuatan yang tak
terlihat—keangkuhan manusia yang mencoba menguasai alam dan menindas yang
lemah.
Dyahrengganis,
di sisi lain, menjadi simbol kemurnian cinta dan martabat perempuan Jawa.
Keputusannya untuk tetap bersama Suta Pradana, meski harus menghadapi kematian,
menegaskan bahwa cinta sejati tidak mengenal batas duniawi atau tekanan
kekuasaan. Dalam setiap bisikan tentang Alas Sinang, Dyahrengganis digambarkan
sebagai sosok yang anggun, berani, dan tak tergoyahkan, wajahnya yang lembut
namun tegas selalu menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk menjaga
kehormatan dan prinsip.
Sementara
itu, hutan Alas Sinang sendiri menjadi saksi sekaligus peringatan. Setiap
pohon, sungai, dan kabut di hutan itu memendam energi yang lahir dari
pengorbanan dan sumpah para pahlawan legenda. Alam menjadi bagian dari cerita,
memperlihatkan bahwa keserakahan dan pengkhianatan selalu membawa kutukan.
Mereka yang mencoba menebang pohon sembarangan atau memasuki hutan dengan niat
jahat akan merasakan murka gaib yang mengerikan: tanah yang menjerat kaki,
bayangan yang menakutkan, dan bisikan yang menghentikan napas. Warga desa
menekankan bahwa Alas Sinang bukan sekadar hutan biasa, melainkan wilayah yang
hidup dan menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan dunia gaib.
Legenda
ini juga mengajarkan tentang kekuatan simbol. Ki Dusta tidak lagi dianggap
hanya sebagai manusia; ia menjadi roh penjaga Alas Sinang, pelindung hutan dan
sungai, sekaligus peringatan bagi setiap orang yang melanggar hukum alam.
Dyahrengganis dan Suta Pradana, yang telah menjadi bayangan di permukaan
sungai, tetap hadir sebagai pengingat bahwa cinta sejati mampu menentang takdir
dan kekejaman dunia. Setiap riak air, setiap bisikan angin, dan setiap dedaunan
yang jatuh seakan membisikkan cerita mereka kepada generasi yang mau mendengar.
Simbolisme
lain dari legenda ini terlihat dalam hubungan manusia dengan alam. Alas Sinang
mengajarkan bahwa perlawanan tidak selalu harus dilakukan dengan kekerasan;
kesetiaan, cinta, dan pengorbanan juga bisa menjadi senjata yang lebih kuat
daripada pedang. Warga desa menyadari bahwa menghormati hutan dan roh-roh yang
menjaga wilayah itu adalah bentuk perlawanan yang paling bijak terhadap
keserakahan dan penindasan. Hal ini membuat legenda Alas Sinang menjadi relevan
sepanjang zaman, sebagai pengingat bahwa keberanian sejati lahir dari hati,
bukan dari kekuatan fisik semata.
Selain
itu, cerita ini juga menjadi pelajaran moral bagi perempuan dan laki-laki.
Dyahrengganis menunjukkan bahwa perempuan dapat memiliki keberanian dan
martabat yang sama besarnya dengan pria, bahwa cinta sejati membutuhkan
keberanian, dan bahwa kesetiaan tidak bisa dibeli atau dipaksa oleh kekuasaan.
Kisah ini menginspirasi generasi muda untuk menghargai cinta, kesetiaan, dan
martabat, sekaligus menyadari bahwa tindakan serakah atau pengkhianatan selalu
membawa akibat.
Di sisi
lain, Ki Dusta menjadi lambang bahwa setiap orang memiliki kekuatan untuk
melawan penindasan dan ketidakadilan, meski hasilnya tidak selalu tampak dalam
dunia manusia. Pengorbanannya membentuk energi yang menyatukan manusia dan alam
dalam simbiosis yang sakral, sehingga hutan Alas Sinang tetap menjadi wilayah
yang suci, penuh misteri, dan dihormati.
Sejak
abad itu, Alas Sinang menjadi tempat yang sarat legenda, yang diabadikan dalam
cerita-cerita turun-temurun. Para tetua desa mengingatkan bahwa hutan itu harus
dihormati, dan setiap orang yang mendekatinya harus membawa niat baik. Kisah Ki
Dusta, Dyahrengganis, dan Suta Pradana tetap hidup, bukan hanya dalam cerita,
tetapi juga dalam setiap gemerisik dedaunan, setiap riak sungai, dan setiap
hembusan angin malam.
Dengan
demikian, legenda Alas Sinang tidak hanya menjadi kisah tragis, tetapi juga
simbol perlawanan, cinta abadi, dan keadilan alam. Ia mengajarkan manusia untuk
menghormati sejarah, menjaga martabat, dan memahami bahwa cinta dan keberanian
sejati memiliki kekuatan yang mampu menembus dunia dan waktu. Alas Sinang,
dengan hutan, sungai, dan roh-roh penjaganya, tetap berdiri sebagai peringatan
bahwa keserakahan dan pengkhianatan selalu berbuah kutukan, sementara kesetiaan
dan cinta abadi akan selalu dijaga oleh alam dan roh-roh sakti yang hidup di
dalamnya.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com