Ads

Bagian 16. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis

 

Cinta dalam Badai: Janji di Tepi Sungai Cempaka Mulia



Di tengah kekacauan yang mengguncang dukuh Cempaka Mulia, cinta masih bersemi di hati dua insan muda. Suta Pradana, pemuda sederhana dari dukuh tetangga, menembus debu, asap, dan teriakan peperangan untuk menemukan Dyahrengganis, gadis cantik yang menjadi pusat hatinya. Ia tahu, meski badai peperangan mengamuk di sekitar mereka, cinta tidak bisa menunggu.

Suta berlari melalui jalan setapak yang licin oleh tanah basah. Asap dari lumbung yang dibakar prajurit Cirebon menyelimuti udara, tetapi semangatnya tak goyah. Ia menembus kerumunan rakyat yang panik, melompati gundukan tanah, hingga akhirnya tiba di tepi sungai, tempat rahasia mereka biasa berjumpa. Di sana, Dyahrengganis sudah menunggunya, tubuhnya gemetar, wajahnya berlinang air mata, namun matanya tetap bercahaya.

Dyahrengganis menggenggam kendi suci yang biasa ia gunakan untuk memercikkan air ke sawah, simbol keberkahan dan keselamatan. Kini, dalam situasi penuh bahaya, kendi itu menjadi lambang keteguhan hati dan keberanian. Ia menatap Suta, suaranya bergetar:

Suta, aku takut. Mereka ingin membawaku pergi. Tapi hatiku hanya untukmu.

Suta menundukkan kepala sejenak, menahan rasa haru, kemudian menjawab dengan tegas:

Jangan takut, Dyah. Bila perlu, aku rela mati melindungimu. Tapi bila aku mati, jangan pernah serahkan dirimu pada Cakranegara. Lebih baik kau hilang bersama angin daripada jadi budak cinta palsu.

Kata-kata itu menggema di tepi sungai, dibawa arus air yang deras, seakan ikut menyimpan janji mereka. Dyahrengganis menggenggam tangan Suta erat-erat, merasakan kehangatan yang menenangkan meski badai peperangan mengelilingi. Sungai mengalir deras, menabrak batu-batu, menciptakan suara riak yang seolah mendukung janji mereka.

Legenda rakyat menceritakan bahwa saat itu, angin dan hujan bergabung dalam satu simfoni alam. Hujan ringan membasahi rambut mereka, sementara angin meniup daun-daun cempaka, menaburkan aroma harum ke udara. Rakyat percaya, alam pun ikut mengakui cinta murni antara Suta Pradana dan Dyahrengganis. Bahkan, beberapa orang yang menyaksikan dari kejauhan merasa ada kekuatan gaib yang menjaga dua hati itu dari bahaya.

Meski bahaya mengintai di setiap sudut, mereka berbicara lirih tentang impian dan harapan. Dyahrengganis mengungkapkan kerinduannya untuk hidup damai, menenun kain lurik dan menolong rakyat dukuh, sementara Suta berjanji untuk selalu melindungi tanah Cempaka Mulia, keluarga, dan cinta mereka, apapun risiko yang menghadang.

Namun, legenda juga menekankan batas antara cinta dan tanggung jawab. Dyahrengganis sadar, ia adalah simbol bagi rakyat Cempaka Mulia—keberadaannya bukan hanya persoalan hati, tetapi juga lambang kesuburan, keberkahan, dan keberanian. Sementara Suta, meski pemuda biasa, memahami bahwa cintanya harus ditempatkan dalam konteks perjuangan dan keselamatan dukuh.

Dalam cerita rakyat, momen itu disebut “Cinta dalam Badai”, bukan hanya karena latarnya adalah peperangan dan kekacauan, tetapi karena cinta mereka diuji oleh badai hidup—api, asap, dan ancaman dari kerajaan besar Cirebon. Rakyat yang menyaksikan merasakan haru dan inspirasi. Mereka belajar bahwa cinta yang tulus bukanlah lemah, melainkan mampu memberi kekuatan bahkan di tengah kengerian perang.

Mereka berdua tetap berpegangan tangan, membiarkan air sungai menandai janji mereka. Dalam folklor Indramayu, air itu dianggap sakral—simbol aliran hidup dan kesetiaan. Siapa pun yang menyaksikan diyakini bisa merasakan kekuatan janji itu, seakan mengalir bersama air dan menjadi bagian dari cerita yang diwariskan turun-temurun.

Badai di sekeliling mereka tetap mengamuk. Suara pedang, jeritan, dan tabuhan bedug dari barisan prajurit Cirebon terdengar tak jauh. Namun, di tepi sungai, Suta dan Dyahrengganis menemukan satu momen ketenangan, di mana janji, cinta, dan keberanian saling bersatu. Dalam legenda, dikisahkan bahwa kekuatan cinta murni inilah yang memberi mereka energi untuk kembali menghadapi dunia di luar sungai, memperkuat semangat mereka dalam menjaga tanah leluhur.

Dan begitulah, kisah “Cinta dalam Badai” menjadi bagian dari warisan rakyat Cempaka Mulia. Ia bukan hanya tentang kisah asmara dua insan muda, tetapi juga tentang keberanian, kesetiaan, dan kekuatan janji di tengah badai kehidupan. Cerita ini diceritakan turun-temurun, mengajarkan generasi baru bahwa cinta sejati selalu menemukan jalan, meski diliputi kegelapan dan ancaman dari dunia luar.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel