Ads

Bagian 20. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis

 

Bagian III: Tragedi Dyahrengganis

Senandung di Tengah Hutan: Cinta dan Cahaya Alas Sinang



Malam itu, Alas Sinang tampak berbeda dari biasanya. Cahaya kunang-kunang berkelip di antara pepohonan lebat, seakan ikut menjaga rahasia yang tersimpan di kedalaman hutan. Angin berhembus lirih, membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang masih tersisa sisa hujan sore tadi. Di sebuah gubuk kecil, Dyahrengganis duduk bersandar di pangkuan ibunya, wajahnya basah oleh air mata yang tak kunjung reda. Wajahnya cantik, namun sorot matanya penuh kegelisahan, menandakan beban berat yang ia tanggung: peperangan, pengkhianatan, dan cinta yang diuji oleh intrik bangsawan.

Di sisi lain, Ki Dusta duduk termangu. Wajahnya muram, namun matanya tetap waspada. Ia tahu, meski malam tampak tenang, bahaya masih mengintai. Setiap suara ranting patah di kegelapan hutan bisa berarti kaki musuh yang mendekat, atau hanya hewan malam yang mencari makan. Namun hatinya tetap tegar, karena ia memikul tanggung jawab bukan hanya sebagai ayah, tetapi juga sebagai pelindung tanah dan rakyatnya.

Dyahrengganis, mencoba menenangkan diri, mulai menyenandungkan lagu lirih yang sering ia dengar dari ibunya saat masih kecil. Suara itu lembut, seperti air sungai yang mengalir, membelah malam yang hening. Lagu itu bukan sekadar hiburan; bagi Dyahrengganis, itu adalah doa yang disulam dengan nada, pengharapan agar keberanian, cinta, dan cahaya tetap hidup di tengah kegelapan.

Tak jauh darinya, Suta Pradana, pemuda penggembala kerbau yang menjadi kekasih hati Dyahrengganis, duduk bersila di lantai kayu. Matanya tidak lepas memandang gadis yang ia cintai. Meski tubuhnya letih setelah perjalanan panjang melarikan diri dari pasukan Cirebon, hatinya tetap bergejolak oleh cinta dan tekad untuk melindungi. Ia menunduk, meresapi senandung Dyahrengganis, dan perlahan suaranya ikut berbaur:

Andai malam ini berhenti selamanya, aku rela. Karena bersama Dyah, aku merasakan surga meski di tengah hutan.

Dyahrengganis menoleh, senyum getir menghias bibirnya. Ia tahu bahwa kebahagiaan mereka rapuh. Musuh belum menyerah, dan Cirebon tidak akan berhenti mengejar mereka. Namun dalam momen itu, di tengah hutan yang berbisik, ada rasa aman yang belum pernah dirasakan sejak kekacauan pertama menyerang pedukuhan mereka. Senandung itu, meski sederhana, menjadi pengikat jiwa antara mereka berdua.

Ki Dusta, yang mendengar suara putrinya dan Suta Pradana, tersenyum tipis meski wajahnya tetap muram. Ia tahu, kekuatan terbesar mereka bukan hanya terletak pada ilmu kanuragan atau strategi peperangan, melainkan pada cinta, kesetiaan, dan kepercayaan yang lahir dari hati yang murni. Dalam dongeng rakyat, momen ini selalu digambarkan sebagai saat ketika cahaya hati mengalahkan bayang-bayang gelap yang mengintai.

Di luar gubuk, hutan seolah ikut berpartisipasi. Daun-daun yang tersisa digoyangkan angin seakan menari mengikuti irama senandung Dyahrengganis. Cahaya kunang-kunang yang berkelip membuat bayangan mereka tampak menari di tanah lembab. Dalam folklor Indramayu, malam seperti ini dipercaya sebagai waktu ketika roh leluhur menenangkan hati yang gelisah, menjaga cahaya dari mereka yang tulus, dan memberi kekuatan bagi jiwa-jiwa yang hendak bangkit dari keputusasaan.

Dyahrengganis berhenti bernyanyi sejenak. Ia menatap Suta Pradana, mata mereka bertemu, dan tanpa kata, rasa cinta dan tekad saling tersampaikan. Mereka tahu, dunia luar penuh bahaya, namun hati yang bersatu mampu menahan segala badai. Ia mengusap air mata, dan suara lirihnya berubah menjadi bisikan doa:
Wahai roh penunggu hutan, lindungi kami, berikan kami keberanian, dan jangan biarkan cahaya ini padam.

Suta Pradana menggenggam tangan Dyahrengganis erat. Meski muda dan sederhana, keberaniannya adalah bukti bahwa cinta sejati bisa menjadi pelindung, lebih kuat dari pedang manapun. Dalam cerita rakyat, hubungan mereka selalu dijadikan simbol bahwa cinta yang lahir dari ketulusan dan keberanian mampu bertahan di tengah bencana dan intrik duniawi.

Malam itu, senandung di tengah hutan bukan sekadar lagu, melainkan doa, pengingat, dan janji. Ia mengikat hati yang rapuh, menguatkan jiwa yang lelah, dan menyalakan api harapan di tengah gelapnya malam. Cerita tentang senandung ini diceritakan turun-temurun, mengajarkan bahwa meski dunia tampak menekan dan keputusasaan mengintai, cahaya cinta, keberanian, dan kesetiaan tidak akan pernah padam.

Di hari-hari berikutnya, senandung Dyahrengganis dan Suta Pradana selalu menjadi penguat bagi Ki Dusta dan murid-muridnya. Dari hutan Alas Sinang, cahaya dan suara mereka menembus pepohonan, menginspirasi rakyat tersembunyi yang selamat untuk bersiap menghadapi hari-hari sulit, menyiapkan pedukuhan mereka untuk bangkit kembali.

Legenda “Senandung di Tengah Hutan: Cinta dan Cahaya Alas Sinang” pun menjadi cerita yang tak lekang oleh waktu. Setiap generasi mendengar dan menirukan senandung itu, menyadari bahwa di tengah kegelapan dan bahaya, cinta dan keberanian tetap mampu memberi terang, menuntun langkah, dan menjaga kehormatan tanah leluhur.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel