Ads

Bagian 5. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis

 

Ki Dusta dan Rahasia Kesanghyangan di Cempaka Mulia



Di masa ketika tanah Cempaka Mulia masih berupa hutan lebat dan ladang basah, nama Ki Dusta tidak hanya dikenang sebagai pemimpin yang membangun permukiman, tetapi juga sebagai guru rohani. Baginya, dunia tidak hanya dihuni oleh manusia, melainkan juga oleh roh leluhur dan makhluk halus yang menjaga keseimbangan alam. Dari keyakinan itulah ajaran kesanghyangan lahir dan berakar kuat di pedukuhan.

Setiap bulan purnama, penduduk berkumpul di bawah pohon cempaka tua yang dianggap sebagai pusat kekuatan gaib. Ki Dusta duduk bersila di atas tikar pandan, sementara murid-muridnya menyalakan obor bambu yang berderet mengelilingi tanah lapang. Bau kemenyan mengepul, melayang ke langit malam, seakan menjadi jembatan doa menuju alam tak kasatmata.

Di hadapan warga, Ki Dusta menaburkan bunga tujuh rupa ke tanah, lalu melafalkan mantra kuno yang diwarisi dari leluhurnya. Kata-kata itu tidak dimengerti sepenuhnya oleh rakyat, tetapi suaranya membawa ketenangan, seakan menuntun mereka pada keseimbangan hidup. Setelah itu, ayam putih disembelih sebagai persembahan, darahnya diteteskan ke akar pohon cempaka, melambangkan ikatan manusia dengan bumi.

Ritual ini dikenal sebagai selamatan hutan. Tujuannya bukan hanya memohon keselamatan, tetapi juga menjaga hubungan baik dengan penunggu hutan, sungai, dan sawah. Rakyat percaya, selama upacara dijalankan, ladang mereka terhindar dari hama, ternak tidak terserang penyakit, dan air sungai tetap jernih mengalir.

Ki Dusta sering berpesan bahwa manusia tidak boleh serakah mengambil hasil bumi. “Tanah ini bukan milik kita semata,” katanya suatu malam. “Ada roh yang menjaga dan leluhur yang menuntun. Bila kita ingkar, maka rahayu akan pergi.” Petuah itu membuat rakyat selalu menjaga sikap ketika menebang pohon, membuka ladang, atau mengambil hasil hutan.

Dalam versi lisan Carita Parahyangan Indramayu, tercatat ungkapan tua:
“Ki Dusta ngaranna guru, nyepeng rahayu manusa, ngajaga wewengkon sangkan jumeneng rahayu.”
(“Ki Dusta namanya guru, memegang keselamatan manusia, menjaga wilayah agar tegak dalam keberkahan.”)

Bagi rakyat, kata-kata itu bukan sekadar catatan, melainkan sumpah yang hidup. Mereka melihat Ki Dusta sebagai perantara antara dunia manusia dan dunia gaib, sosok yang menjaga harmoni agar pedukuhan tidak diganggu bala.

Hingga kini, kisah tentang kesanghyangan di Cempaka Mulia masih sering diceritakan dari mulut ke mulut. Setiap kali bulan purnama muncul di langit, orang-orang tua berpesan pada cucu-cucunya: jangan lupa pada tanah tempat berpijak, karena di sanalah roh leluhur berdiam. Dan di balik semua itu, nama Ki Dusta tetap harum, dikenang bukan hanya sebagai pendiri pedukuhan, tetapi sebagai penjaga keseimbangan dunia.

Bedah Budaya–Sejarah legenda kesanghyangan dalam kisah Ki Dusta

Adapun mengenai kesanghyangan dalam kisah Ki Dusta mencerminkan cara pandang agraris masyarakat Jawa–Sunda di pesisir utara, termasuk Indramayu. Kehidupan pertanian sangat bergantung pada alam, sehingga penghormatan terhadap roh penunggu sawah, sungai, dan hutan menjadi bentuk kearifan lokal untuk menjaga harmoni ekologi.

Ritual selamatan hutan dan persembahan di bawah pohon cempaka tua adalah simbol dari konsep animisme yang berpadu dengan kultus leluhur. Pohon, sungai, dan tanah dianggap memiliki kekuatan spiritual yang harus dihormati. Inilah yang dalam antropologi sering disebut sebagai local belief system, yang menjaga agar masyarakat tidak merusak lingkungan secara berlebihan.

Tradisi ini juga mengandung unsur sinkretisme budaya. Mantra kuno, sesaji ayam putih, serta bunga tujuh rupa menandakan warisan pra-Hindu–Buddha yang terus dilestarikan. Bahkan setelah masuknya pengaruh Hindu, Islam, dan kepercayaan modern, praktik seperti ini tetap hidup dalam bentuk tradisi selamatan, sedekah bumi, atau ruwatan desa.

Kehadiran nama Ki Dusta sebagai guru rohani juga menunjukkan pola kepemimpinan tradisional Jawa: seorang tokoh lokal bukan hanya pemimpin duniawi (pengatur permukiman), tetapi juga pemimpin spiritual yang menjembatani hubungan manusia dengan alam gaib. Figur seperti ini memperlihatkan bagaimana legitimasi sosial di masyarakat agraris diperoleh dari penguasaan spiritual dan kesaktian.

Dengan demikian, legenda Ki Dusta tidak hanya menjadi cerita rakyat tentang pendiri dukuh, tetapi juga refleksi dari sistem nilai budaya lokal: keselarasan dengan alam, penghormatan pada leluhur, dan peran tokoh karismatik dalam menjaga harmoni kosmos.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel