Ads

Legenda Alas Sinang Bagian 6: Catatan Cakrabuana dalam Carita Purwaka Caruban Nagari

 

Jejak Sejarah dan Legenda 1: Catatan Cakrabuana dalam Carita Purwaka Caruban Nagari



Dalam sejarah lokal Cirebon, nama Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang selalu menempati posisi penting. Ia dikenal sebagai pendiri Kesultanan Cirebon sekaligus perintis penyebaran Islam di pesisir utara Jawa pada abad ke-15 M. Jejaknya banyak dicatat dalam Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN), sebuah naskah abad ke-17 yang berfungsi sebagai babad resmi Cirebon.

Dalam salah satu bagian naskah itu disebutkan:

“...Sang prabu Cakrabuana, putra Sang Prabu Siliwangi, angandika lan ngedegaken nagara anyar, Caruban aranipun. Wonten ing sisih wetan alas ageng, Sinang aran, sami para pelarian anggadhahi papan anyar, saha dipun wastani papan para reang.”
(Carita Purwaka Caruban Nagari, naskah koleksi Keraton Kasepuhan, transliterasi bebas)

Terjemahan:
“...Sang Prabu Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi, mendirikan kerajaan baru bernama Caruban. Di sebelah timur terdapat hutan besar bernama Sinang, tempat para pelarian mendapatkan tempat tinggal baru, dan disebutlah sebagai tanah para reang.”

Kutipan ini menunjukkan dua hal penting. Pertama, hutan Sinang sudah dikenal sejak awal berdirinya Cirebon sebagai kawasan yang dihuni para pelarian atau pendatang dari berbagai daerah. Kedua, penyebutan “papan para reang” selaras dengan istilah dialek reang yang hingga kini masih dikenal di Indramayu bagian pedalaman, termasuk di pedukuhan Cempaka Mulia.

Catatan CPCN memperkuat pandangan bahwa ketika Cakrabuana membangun Cirebon, ia tidak hanya fokus pada pusat kota dan pelabuhan, tetapi juga pada kawasan penyangga di sekitarnya. Hutan Sinang, dengan tanahnya yang subur, dianggap strategis untuk dijadikan lahan garapan sekaligus benteng alami dari kemungkinan gangguan kerajaan tetangga. Oleh sebab itu, Cakrabuana menempatkan beberapa pengikutnya untuk membuka lahan sekaligus menjaga keamanan jalur dagang ke pedalaman.

Menurut tradisi lisan masyarakat Indramayu, pertemuan antara utusan Cakrabuana dan kelompok peladang, pemburu, maupun pengungsi politik di hutan Sinang melahirkan komunitas baru. Komunitas ini kemudian berkembang menjadi pedukuhan yang dinamakan Cempaka Mulia. Nama tersebut diyakini berasal dari sebuah pohon cempaka putih besar yang tumbuh di kawasan terbuka hutan. Di bawah pohon itulah para pendatang bersumpah setia untuk hidup damai dan saling membantu. “Mulia” melambangkan cita-cita mereka akan kesejahteraan dan martabat bersama.

Dengan demikian, meskipun CPCN tidak menyebut Cempaka Mulia secara eksplisit, hubungan antara teks babad dan tradisi lokal sangat jelas. CPCN memberi konteks sejarah bahwa kawasan Sinang dihuni para pelarian (reang), sementara legenda Cempaka Mulia memberi detail bagaimana komunitas itu lahir dan menamakan diri. Akulturasi budaya Sunda (dari Pajajaran) dan Jawa (dari pengaruh Cakrabuana) pun tercermin dalam bahasa, tradisi, hingga identitas masyarakatnya.

CPCN bukan hanya sumber politik kerajaan, tetapi juga pintu masuk memahami dinamika sosial kultural masyarakat di wilayah perbatasan. Dari catatan inilah kita bisa melihat bahwa Cempaka Mulia adalah bagian dari strategi awal Cakrabuana dalam memperluas basis sosial, ekonomi, dan spiritual Cirebon. Jejaknya masih terasa hingga kini, baik dalam bahasa reang, dalam folklor Indramayu, maupun dalam ingatan kolektif masyarakat pesisir utara Jawa.

Kontributor

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel