Bagian 17. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Intrik Pangeran: Nafsu di Balik
Perang
Di balik riuh pertempuran yang mengguncang dukuh Cempaka Mulia, ada mata
yang mengawasi dari kejauhan—mata Pangeran Cakranegara,
keponakan jauh Sunan Gunung Jati. Duduk di atas bukit yang menatap pedukuhan,
ia menatap kobaran api dan barisan prajurit Cirebon yang bergerak maju. Namun
berbeda dari pemimpin perang biasa, pangeran itu tidak ingin turun langsung ke
medan laga. Ia memiliki niat lain yang lebih gelap dan pribadi: Dyahrengganis,
putri Ki Dusta, adalah obsesinya.
Dalam dongeng rakyat Indramayu, dikisahkan bahwa Pangeran Cakranegara sering
terlihat di balik tirai, mengawasi setiap gerakan. Ia mengatur strategi tidak
semata untuk menaklukkan Cempaka Mulia atau menundukkan Ki Dusta, tetapi untuk
mendapatkan gadis cantik yang hatinya bersemi bagi Suta Pradana. Dengan bisikan
lirih kepada pengikutnya, ia memberi perintah yang membekas dalam ingatan
rakyat:
“Tangkap gadis itu hidup-hidup. Bawa padaku. Bila ayahnya melawan,
habisi saja. Aku ingin Dyahrengganis jadi milikku, meski bumi harus banjir
darah.”
Kata-kata ini bukan sekadar intrik perang; dalam folklore lokal, ia
melambangkan sisi gelap nafsu dan keserakahan bangsawan, yang mampu memicu
konflik di antara rakyat kecil yang tak bersalah. Dalam cerita lisan, para
tetua selalu menekankan bahwa perang antara Cempaka Mulia dan Cirebon bukan
semata soal politik atau agama, melainkan juga tentang hawa nafsu yang
menyelimuti hati seorang bangsawan.
Sementara itu, di pedukuhan, Ki Dusta dan murid-muridnya menyadari ada
sesuatu yang lebih dari sekadar peperangan fisik. Rakyat mulai merasakan
ketegangan yang berbeda; bukan hanya serangan tombak dan pedang yang
menakutkan, tetapi ada ancaman tersembunyi yang datang dari niat pribadi
seorang pangeran. Legenda menyebutkan, roh leluhur yang menjaga tanah Cempaka
Mulia pun murka mengetahui maksud jahat ini, dan mulai memperkuat penghalang
gaib di sekeliling dukuh.
Ki Koang dan Ki Brangbang, yang memimpin
barisan depan, segera diberi tahu tentang rencana Pangeran Cakranegara. Ki
Brangbang, dengan suara lantang dan keras kepala, berteriak kepada para pemuda:
“Waspadalah! Ini bukan hanya perang biasa! Mereka tidak hanya ingin
tanah, tapi ingin merampas hati tanah ini sendiri! Lindungi Dyahrengganis,
lindungi warisan leluhur!”
Dyahrengganis, yang menyadari ancaman baru itu, semakin berhati-hati.
Bersama Suta Pradana, ia bersembunyi di tepi sungai, menjaga
jarak dari prajurit yang membawa intrik Pangeran. Air sungai yang mengalir
deras menjadi saksi bisu janji cinta mereka, sekaligus menjadi perlindungan
sementara terhadap bahaya yang mengintai dari arah belakang.
Legenda lisan menyebutkan bahwa Cakranegara mengirim mata-mata dan
pengkhianat ke dalam pedukuhan. Salah satu yang paling terkenal adalah Jaka
Lodra, murid kecil Ki Dusta yang tergoda janji harta dan pangkat.
Dengan tipuan dan intrik, ia memberi petunjuk jalur rahasia bagi prajurit
Cirebon untuk mendekati rumah Dyahrengganis. Namun, seperti banyak legenda,
tindakan jahat itu tidak berjalan mulus. Roh leluhur dan kekuatan gaib dari
tanah Cempaka Mulia menimbulkan rintangan: langkah prajurit tersandung, panji
roboh, dan beberapa tersesat di Alas Sinang.
Dongeng rakyat menekankan bahwa intrik Cakranegara menimbulkan ketegangan
ganda: di satu sisi perang fisik, di sisi lain konflik hati dan moral. Rakyat
belajar, bahwa musuh tidak selalu datang dalam bentuk pedang, tombak, atau
panji; kadang ia datang dalam bentuk nafsu yang disamarkan sebagai kewenangan
bangsawan.
Pada malam hari, legenda menyebutkan bahwa Cakranegara berdiri di bukit,
menatap pedukuhan yang masih bertahan meski terbakar sebagian. Angin malam
membawa aroma bunga cempaka yang gugur, seakan memberi peringatan gaib: “Siapa
yang bernafsu dan merusak keseimbangan tanah, akan tersandung oleh langkahnya
sendiri.” Kata-kata ini menjadi pengingat bahwa kekuasaan dan nafsu
tidak selalu berakhir sesuai rencana.
Rakyat Cempaka Mulia, meski lelah dan terjepit, menemukan kekuatan dari
intrik Pangeran itu. Mereka sadar bahwa mempertahankan tanah dan keluarga bukan
hanya soal pedang, tetapi juga soal kesetiaan, keberanian, dan
perlindungan dari leluhur. Ki Dusta, murid-muridnya, dan Dyahrengganis
menjadi simbol keteguhan yang mampu menahan serangan bukan hanya dari kekuatan
fisik, tetapi juga dari hawa nafsu seorang bangsawan.
Legenda ini kemudian diwariskan turun-temurun sebagai “Intrik
Pangeran: Nafsu di Balik Perang”, pengingat bahwa konflik terbesar
seringkali lahir dari hati manusia sendiri—dan bahwa keberanian rakyat kecil,
didukung kekuatan leluhur dan cinta yang tulus, mampu menahan gelombang niat
jahat yang paling berbahaya sekalipun.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com