Bagian 26. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis
Sungai Sakti dan Janji yang
Tenggelam
Malam itu, hutan Alas Sinang seakan menahan napasnya sendiri. Angin
berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan daun yang gugur, sementara
cahaya bulan menembus celah-celah pepohonan, memantul di permukaan Sungai Alas
Sinang yang berliku. Di tepi sungai, Dyahrengganis berlari panik, jantungnya
berdebar seperti genderang perang yang menakutkan. Setiap langkahnya terdengar
di antara gemerisik dedaunan, seolah alam sendiri ikut menyaksikan
kegelisahannya.
Suta Pradana, tubuhnya penuh luka dan darah mengalir deras dari lengan dan
dadanya, berusaha menyusul dengan sisa tenaga yang tersisa. Tubuhnya gemetar,
namun matanya tetap fokus pada sosok Dyahrengganis di depan. Setiap napasnya berat,
setiap langkah terasa membakar, namun tekadnya lebih kuat daripada rasa sakit
yang menghimpit. Di belakang mereka, prajurit Cirebon bergerak cepat, melesat
melalui pepohonan, suara ranting patah di bawah kaki mereka menambah ketegangan
malam itu.
Dyahrengganis berhenti sejenak di tepi sungai, menoleh ke arah Suta yang
semakin dekat. Air matanya bercampur dengan hujan gerimis yang turun dari
langit, membasahi wajahnya yang pucat namun tegas. Suara hatinya bergemuruh,
menembus malam yang sunyi:
“Suta… lebih baik aku mati bersamamu, daripada jatuh ke tangan mereka!”
Suta Pradana mengangguk pelan, menatap putri yang dicintainya dengan mata
yang berkilat oleh keberanian dan cinta yang tak tergoyahkan. Dengan napas
tersengal, suaranya serak namun tegas:
“Dyah… kalau memang ini takdir kita, biarlah sungai jadi saksi cinta kita.”
Tanpa ragu, Dyahrengganis melompat ke tubuh Suta, memeluknya erat. Tubuh
mereka berdua berpegangan, menantang dunia yang penuh kekejaman. Bersama-sama,
mereka melompat ke dalam Sungai Alas Sinang. Air beriak keras, memercik tinggi
ke udara, seolah menari mengikuti keberanian dua hati yang memilih cinta
daripada hidup sendiri. Tubuh mereka tenggelam perlahan dalam pusaran arus,
tersapu oleh air yang dingin dan deras, sementara hutan di sekeliling seakan
hening dalam penghormatan pada keberanian mereka.
Prajurit Cirebon yang menyaksikan hanya bisa terdiam, mulut mereka terbuka
namun tak satu kata pun keluar. Mereka terpaku pada arus sungai yang menelan
dua sosok yang mereka buru selama ini. Rasa kagum dan takut bercampur menjadi
satu, seolah alam sendiri menegur keserakahan mereka.
Tak lama kemudian, Pangeran Cakranegara tiba, langkahnya cepat namun
terlambat. Matanya membara oleh kemarahan dan keputusasaan. Saat melihat sungai
yang bergolak, tapi tak ada jejak Dyahrengganis atau Suta, ia meraung, suara
marahnya mengguncang pepohonan:
“Tidak! Tidak! Lebih baik aku tak pernah lahir, daripada kehilangan
Dyahrengganis dengan cara ini!”
Dengan pedangnya yang berkilau diterpa cahaya bulan, ia memukul permukaan
sungai, namun yang terdengar hanya riak air yang kembali tenang. Sungai seolah
menjawab dengan kesunyian yang menakutkan. Setiap pukulan hanya menghasilkan
percikan kecil, namun tidak mampu menolong atau mengembalikan yang telah
hilang. Hanya suara arus yang mengalir, membisikkan legenda yang baru saja
lahir.
Alam hutan seakan meratap bersama mereka. Angin berdesir pelan, daun-daun
berjatuhan, dan bulan purnama menyaksikan tragedi itu dengan cahaya lembutnya
yang memantul di permukaan air. Sungai Alas Sinang, sejak malam itu, menjadi
saksi cinta sejati dan keberanian yang tak bisa ditaklukkan oleh kekuasaan atau
kekejaman manusia. Cerita itu akan diceritakan dari mulut ke mulut, dari
generasi ke generasi, tentang seorang pemuda rakyat jelata yang berani
menghadapi kematian demi cinta, dan seorang putri yang memilih mengakhiri
hidupnya bersama sang kekasih, daripada hidup dalam penindasan.
Di tepian sungai, daun-daun bergeser, seolah menundukkan kepala. Hutan
menyimpan air mata mereka dalam setiap aliran sungai, dalam setiap gemericik
arus, dan dalam setiap bisik angin malam. Bahkan batu-batu di tepi sungai
tampak lebih gelap, menandai tragedi yang telah tercatat dalam sejarah Alas
Sinang.
Cakranegara berdiri di sana, pedang di tangan, tubuhnya gemetar oleh
kemarahan dan penyesalan. Namun sungai tetap diam, tenang namun mengingatkan
akan kekuatan alam yang tak bisa diganggu. Ia tahu, tak ada amarah atau pedang
yang mampu mengubah takdir yang telah memilih jalan ini. Ia menatap air yang
bergolak perlahan-lahan menenangkan diri, dan hatinya merasakan kehampaan yang
tak tertahankan.
Begitulah malam itu berakhir, dengan Sungai Alas Sinang menyimpan dua jiwa
yang tenggelam bersama, tetapi juga menorehkan legenda tentang keberanian,
cinta, dan pengorbanan. Dari generasi ke generasi, cerita itu akan dikenang:
bahwa cinta sejati terkadang harus dibayar dengan nyawa, dan keberanian seorang
pemuda serta putri bangsawan dapat melampaui batas hidup dan mati, menjadi
saksi abadi di antara desah angin dan riak air yang tak pernah berhenti.
Konten Creator
Akang Marta
Indramayutradisi.com