Ads

Bagian 9. Legenda Alas Sinang: Kisah Ki Dusta dan Nyai Dyahrengganis

 

Fitnah dan Intrik Politik



Tak lama setelah kedatangan Tumenggung Wirasaba, angin fitnah mulai berhembus di Cempaka Mulia. Di balik semarak kehidupan dukuh, tersimpan rasa iri dan dengki yang kelak menjadi sumber malapetaka. Seorang pemuda bernama Jaka Lodra, murid Ki Dusta yang sejak kecil dibimbing dalam laku kanuragan dan tata krama, mulai menumbuhkan bara dalam hatinya.

Sejak awal, Jaka Lodra merasa tersisih. Ia melihat Ki Koang dan Ki Brangbang selalu menjadi andalan Ki Dusta dalam urusan penting—baik menjaga tapal batas, memimpin latihan pencak silat, hingga mendampingi sang guru dalam pertemuan adat. Sementara dirinya hanya dianggap pembawa air dan penjaga lumbung. Rasa cemburu itu kian menggerogoti pikirannya.

Suatu malam, ketika kabut turun dari hutan Alas Sinang, Jaka Lodra nekat menyusuri jalan menuju pesisir. Ia tahu bahwa utusan Cirebon masih sering mondar-mandir di wilayah itu. Dengan langkah gelisah, ia menemui seorang prajurit penghubung bernama Ki Wiraadi, yang dikenal dekat dengan Tumenggung Wirasaba.

Di sana, Jaka Lodra membisikkan kabar palsu.
“Guru kami, Ki Dusta, diam-diam menghimpun murid-muridnya. Ia melatih mereka bukan sekadar menjaga desa, melainkan menyiapkan pemberontakan melawan Cirebon. Jika paduka Sunan tidak segera bertindak, pesisir timur bisa bergejolak.”

Prajurit itu mendengarkan dengan dahi berkerut. Kabar itu segera diteruskan ke Cirebon, hingga sampai ke telinga Sunan Gunung Jati sendiri. Bagi pihak keraton, berita tersebut bukan sekadar gosip. Ki Dusta memang dikenal kuat dan karismatik; jika benar ia berniat memberontak, maka stabilitas kekuasaan di pesisir bisa runtuh.

Dalam cerita rakyat yang dituturkan para tetua, Jaka Lodra digambarkan sebagai pengkhianat yang bermuka dua. Di hadapan Ki Dusta, ia tetap menunduk, menyebut diri sebagai murid setia. Namun, di balik bayangan malam, ia menjadi lidah yang tajam, menusukkan fitnah ke dalam jantung kekuasaan Cempaka Mulia.

Fitnah itu bagai racun yang mengalir pelan. Awalnya tak tampak, namun kemudian melahirkan kecurigaan. Beberapa pedagang Muslim yang biasa singgah di pasar Cempaka Mulia mulai menjauh. Mereka mendengar bisik-bisik bahwa Ki Dusta akan menentang Cirebon. Di kalangan rakyat pun muncul rasa takut: apakah dukuh mereka akan menjadi medan perang?

Ki Dusta sendiri awalnya tidak mengetahui sumber kegelisahan itu. Ia heran melihat sahabat-sahabat pedagangnya mulai jarang datang, dan beberapa kepala keluarga terlihat ragu saat menghadap. Baru setelah Ki Koang menyelidiki, ia mendengar kabar bahwa ada seorang murid yang menjadi penyambung lidah Cirebon.

“Guru,” kata Ki Koang dengan wajah tegang, “ada yang menyebarkan kabar bahwa paduka hendak memberontak. Rakyat resah, dan Cirebon sudah mulai menaruh curiga.”

Ki Dusta terdiam lama. Ia menatap bara api di tungku pendopo, seakan melihat masa depan yang mulai kelam.
“Jika benar demikian,” ucapnya lirih, “maka pengkhianatan lahir dari dalam rumah kita sendiri. Fitnah lebih berbahaya daripada tombak. Ia menusuk tanpa disadari, meruntuhkan kepercayaan sebelum perang dimulai.”

Sejak saat itu, hubungan Cempaka Mulia dan Cirebon kian menegang. Intrik politik yang berawal dari hati iri seorang murid telah membuka jalan menuju perpecahan besar. Legenda pun mencatat: fitnah Jaka Lodra bukan hanya mengubah nasib Ki Dusta, tapi juga menorehkan luka panjang dalam sejarah pesisir Indramayu.

Konten Creator

Akang Marta

Indramayutradisi.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel