Legenda Alas Sinang Bagian 3: Hutan Sinang
Hutan Sinang: Ruang Antara Alam dan Peradaban
Hutan
Sinang dalam cerita rakyat Indramayu digambarkan sebagai kawasan lebat dengan
pepohonan menjulang tinggi, belukar rapat, serta dipenuhi sungai-sungai kecil
yang berkelok melewati daratan subur. Suara alam dari kicauan burung eksotis
berpadu dengan auman harimau, membuat tempat ini memiliki nuansa mistis
sekaligus menantang. Folklor yang diwariskan turun-temurun menyebutkan bahwa
hutan ini merupakan habitat bagi harimau, rusa, kijang, hingga burung merak
yang mewarnai keseimbangan ekosistem kala itu. Bagi masyarakat pendatang yang
datang pertama kali, membuka lahan di Sinang bukanlah perkara mudah. Mereka
harus berhadapan dengan rimba yang masih perawan, ancaman binatang buas, serta
iklim yang belum sepenuhnya dipahami.
Namun
demikian, kesuburan tanah Sinang menjadi daya tarik yang tak terbantahkan. Para
pendatang berasal dari beragam latar belakang dengan tujuan yang berbeda, namun
semua menyatu dalam usaha memanfaatkan kekayaan alam. Pertama adalah para peladang
dan petani. Mereka datang dengan tekad kuat membuka huma: menebang pohon,
membersihkan lahan, dan menanam padi gogo sebagai sumber pangan. Seiring waktu,
mereka mengembangkan sistem sawah beririgasi sederhana, memanfaatkan aliran
sungai kecil yang banyak dijumpai di sekitar hutan. Kehadiran mereka menjadi
fondasi awal pola hidup agraris yang kemudian mendominasi pedukuhan Cempaka
Mulia.
Golongan
kedua adalah tukang kayu dan pemburu. Hidup mereka sepenuhnya bergantung
pada hasil hutan. Pohon-pohon besar ditebang untuk dijadikan bahan bangunan
atau dijual ke pelabuhan terdekat, sementara hasil buruan seperti rusa, kijang,
dan babi hutan menjadi komoditas penting baik untuk konsumsi maupun
perdagangan. Kehadiran kelompok ini turut memperkaya ragam aktivitas ekonomi
masyarakat awal Cempaka Mulia, menjadikannya tidak sekadar komunitas tani,
tetapi juga penghasil hasil hutan yang bernilai.
Selain
itu, terdapat pula pengungsi politik. Konflik internal yang kerap
terjadi di kerajaan-kerajaan Jawa dan Sunda pada abad ke-15 mendorong kelompok
tertentu mencari tempat aman untuk berlindung. Pedalaman hutan Sinang, yang
relatif jauh dari pusat kekuasaan, menjadi pilihan ideal. Mereka yang datang
membawa serta tradisi, bahasa, dan adat masing-masing. Perpaduan inilah yang
melahirkan masyarakat dengan latar belakang beragam, namun pada akhirnya
menemukan titik temu di tanah baru.
Pertemuan
berbagai kelompok ini terjadi di sebuah lahan terbuka di tepi hutan. Folklor
setempat menuturkan bahwa di tempat tersebut pernah tumbuh sebuah pohon cempaka
putih berukuran besar. Pohon itu dianggap keramat oleh para penduduk awal.
Konon, di bawah rindangnya, para pendatang berkumpul untuk mengadakan pertemuan
dan bermusyawarah. Mereka mengikat sumpah setia untuk hidup damai,
bergotong-royong, serta menjaga tanah baru bersama. Pohon cempaka putih itu
kemudian menjadi simbol persatuan, tempat sakral yang mempersatukan mereka yang
berasal dari latar berbeda.
Dari
pohon inilah lahir nama pedukuhan Cempaka Mulia. “Cempaka” melambangkan
kesucian, keteduhan, dan keharuman yang menyatukan, sementara “Mulia”
merepresentasikan martabat dan kesejahteraan yang mereka cita-citakan. Nama itu
bukan sekadar penanda geografis, tetapi juga cermin dari nilai yang mereka
junjung tinggi sejak awal: kebersamaan, perdamaian, dan keberanian membangun
kehidupan baru di tanah yang menantang.
Kisah
lahirnya pedukuhan Cempaka Mulia melalui hutan Sinang memperlihatkan bagaimana
sejarah lokal terbentuk dari pertemuan manusia dengan alam, serta dari tekad
kolektif masyarakat untuk menjadikan tempat asing sebagai rumah. Hingga kini,
cerita tentang pohon cempaka putih tetap hidup dalam ingatan masyarakat,
menjadi pengingat akan akar persatuan dan perjuangan leluhur mereka.
Kontributor
Akang Marta
Indramayutradisi.com