Mantan Presiden dan Etika Kepemimpinan: Memimpin dari Balik Layar
Mantan Presiden dan Etika Kepemimpinan: Memimpin
dari Balik Layar
Pengaruh
mantan presiden dalam politik Indonesia sangat besar, karena pengalaman,
reputasi, dan jaringan luas yang dimilikinya dapat membentuk arah dan strategi
politik nasional. Arahan yang diberikan mantan presiden, seperti terlihat pada
beberapa kesempatan, menunjukkan bagaimana figur berpengalaman dapat memengaruhi
loyalitas relawan, dukungan partai, hingga jalur karier calon pemimpin muda.
Namun,
fenomena ini menghadirkan dilema etis yang serius. Bagaimana seorang pemimpin
yang pernah memegang kekuasaan tinggi menyeimbangkan pengaruhnya dengan
tanggung jawab moral terhadap masyarakat? Pengaruh yang digunakan untuk
kepentingan pribadi atau keluarga berpotensi menimbulkan nepotisme, menutup
ruang bagi calon berbakat dari luar lingkaran dekat, dan mereduksi prinsip
meritokrasi.
Etika
kepemimpinan menuntut agar setiap tindakan politik selalu menempatkan
kepentingan rakyat di atas segalanya. Pengalaman dan reputasi seharusnya
digunakan untuk membimbing demokrasi, bukan memperkuat kekuasaan keluarga atau
kelompok tertentu. Jika pengaruh besar tidak dibarengi dengan tanggung jawab
moral, masyarakat bisa kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi secara adil
dalam politik, dan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi akan menurun.
Legitimasi politik bukan hanya soal arahan atau strategi, tapi tentang hasil
nyata.
·
Program strategis yang
berjalan efektif.
·
Penyelesaian masalah sosial
dan ekonomi.
·
Kepercayaan publik yang
terjaga.
Jika pejabat bermasalah tetap memegang posisi,
sistem akuntabilitas terlihat lemah, dan publik mulai skeptis.
Dengan
demikian, pengaruh mantan presiden adalah pedang bermata dua: dapat menjadi sumber
stabilitas dan arahan politik, tetapi juga berpotensi menimbulkan kontroversi
etis jika tidak dikelola dengan bijak.
Kontributor
SM
Indramayutradisi.com